Tempo.Co

Gedung Pencakar Langit Seharusnya Punya Alat Deteksi Bencana
Selasa, 03 April 2018
Rapat dengar pendapat Komisi V dengan BMKG. di Gedung DPR RI, Selasa, 3 April 2018. (Foto: Tempo/Sukarnain)

Anggota Komisi V DPR RI Novita Wijayanti mendorong pemerintah pusat, pemerintah daerah, BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) dan Basarnas (Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan) agar memberikan standar pengamanan dari bencana bagi gedung-gedung tinggi atau pencakar langit. Dia menyontohkan bagaimana di Jakarta banyak gedung pencakar langit dengan jumlah penduduknya yang padat. Menurut Novi, gedung-gedung  tinggi itu harus memiliki alat pendeteksi bencana sebelum terjadi kejadian yang tidak diingingkan dan memiliki jalur khusus evakusi.

“Kami menyarankan kepada BMKG, Basarnas, pemerintah pusat maupun di provinsi sebaiknya memberikan syarat kepada gedung-gedung yang banyak dihuni orang-orang agar memiliki alat pendeteksi bencana alam, jalur khusus evakuasi dan sarana dan prasarana pertolongan pertama jika bencana itu terjadi,” ujarnya di sela-sela Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi V DPR RI dengan BMKG dan Basarnas di Gedung DPR, Selasa 3 April 2018.

Hal ini menurutnya sangat penting, apalagi dari hasil kajian BMKG  diinformasikan jika Jakarta akan berpotensi gempa besar. Oleh karena itu Komisi V  berharap informasi itu segera diantisipasi sehingga masyarakat tidak resah. BMKG dan Basarnas harus menyiapkan langkah apa yang dilakukan andai itu terjadi. 

Saat ini bencana menyebabkan masyarakat paranoid. Tidak hanya bencana alam, tetapi juga kerusakan infrastruktur yang memakan korban jiwa.   

Rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI Ibnu Munzir itu menghadirkan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan M Syaugi.

Dwikorita mengatakan jika gempa bumi megathrust memang mengancam Indonesia. Hal ini karena wilayah Indonesia merupakan bagian dari Ring of Fire. Indonesia adalah salah satu kawasan paling aktif gempa bumi dunia. Ada 295 patahan aktif dan lima subduksi lempeng aktif yakni Subduksi Sunda, Subduksi Banda, Subduksi Utara Sulawesi, Subduksi Lempeng Laut Maluku dan Subduksi Utara Papua. Sayangnya, kata Dwikorita, gempa yang disebabkan oleh patahan sulit diprediksi.

“Sampai hari ini kita tidak bisa memprediksi aktivasi patahan yang memicu gempa. Kalau tsunami masih bisa diprediksi,” ujar Kornita.

Dalam penuturannya, peta aktivitas gempa bumi di Indonesia, dalam setahun bisa terjadi gempa dalam berbagai magnitude sebanyak 5000 kali, gempa berkekuatan M>5,0 sebanyak 300 kali, gempa yang berpotensi merusak sebanyak 5 – 8 kali dan gempa yang berpotensi tsunami sebanyak 1 – 2 kali.

Sementara itu, Syaugi mengatakan jika tugas Basarnas yakni melaksanakan kegiatan mencari, menolong, menyelamatkan dan mengevaluasi manusia yang menghadapi keadaan darurat atau bahaya dalam kecelakaan, bencana atau kondisi yang membahayakan manusia. Selama ini SAR telah melatih potensi sumber daya manusia untuk melakukan tupoksi penyelamatan setiap tahun. Pada 2018, ada sekitar 4000 orang yang akan dilatih di Indonesia terutama di daerah rawan bencana alam. (*)