Tempo.Co

Undang Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Akan Direvisi
Selasa, 24 April 2018
Forum legislasi, solusi ojek online, revisi UU LLAJ atau Perpres, Nusantara III Gedung DPR RI, Selasa, 24 April 2018. (Foto: Tempo/Sukarnain)

Ketua Komisi V DPR RI Fary Djemy Francis mengatakan Undang Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) akan direvisi. Menurut Fary dalam diskusi forum legislasi bertajuk 'Solusi Ojek Online, Revisi UU LLAJ atau Perpres'?, di Gedung DPR, Selasa, 24 April 2018, usulan revisi ini sudah disepakati dengan Kementerian Perhubungan dalam rapat kerja November 2017.

“Kita akan merevisi undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan, posisinya sekarang di DPR itu sudah menyerahkan kepada badan keahlian DPR untuk melakukan kajian naskah akademik dan membuat draft rancangan undang-undang tetapi prosesnya panjang,” ujarnya.

Dikatakan Fary, Senin 23 April 2018 kemarin sudah menerima aspirasi dua kelompok yakni pemerhati transportasi online dan pengendara ojek online (ojol) atau driver khususnya roda dua.  Mereka meminta ada kejelasan, ketegasan berkaitan dengan ranah hukum mereka sendiri serta bentuk kemitraan antara pengendara ojek online dengan aplikator sesuai Pasal 33 UUD 1945, azas perekonomian adalah azas kekeluargaan.

“Ini yang terjadi. Teman-teman pengendara ojek ini merasa mereka tidak berdaya, semua penetapan, semua aturan  itu diatur oleh perusahaan aplikator. Negara harus hadir,” ujar Fary.  

Perusahaan aplikasi memiliki omzet yang tinggi, namun situasi itu berbanding terbalik dengan pengendara atau driver. Selain itu secara jumlah, driver sudah melebihi kuota.  

Dirjen Perhubungan Darat di Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi mengatakan jika saat ini pemerintah sedang mendorong agar aplikator menjadi perusahaan transportasi mengingat selama ini mereka sudah menentukan tarif sendiri. Sehingga dengan ketentuan itu, aplikator akan menaati ketentuan sebagaimana perusahaan transportasi lainnya.

Mengenai perbaikan tarif  adalah adanya perbedaan persepsi antara pengemudi dengan pihak aplikasi atau aplikator.  Tarif untuk kendaraan roda dua diusulkan Rp 3250 per kilometer hingga Rp 3.500. 

Kemudian, dari pertemuan KPPU dan juga YLKI bahwa perlu penguatan peran dari para mitra pengemudi ojek online ini yaitu dengan melakukan review terhadap MoU oleh Kementerian Hukum dan HAM untuk mengetahui keseimbangan posisi dari para aplikator dengan pihak pengemudi. 

“Para pengemudi sebetulnya belum tahu persis bagaimana substansi dari MoU itu sendiri,” kata dia.  

Pengamat Transportai Publik Darmaningtyas mengatakan seharusnya ojek online tidak perlu dilegalkan sebagai transportasi publik. Sebab, kendaraan roda dua ini tidak berlandaskan keselamatan. Selama ini negara sangat keras memberantas peredaran narkoba karena dalam satu hari ada sekitar 50 orang yang meninggal karena penyalahgunaan obat terlarang itu. Sementara, korban yang meninggal akibat sepeda motor mencapai 55 orang per hari. Artinya penyebab kematian sepeda motor lebih tinggi daripada narkoba.

“Kalau ojek online dilegalkan, sama saja menciptakan transportasi yang tidak berlandaskan keselamatan,” kata Darmaningtyas.

Seharusnya UU LLAJ mendorong implementasi angkutan umum. Karena seharusnya UU menjadi wadah secara nasional terutama bagi masyarakat di pelosok negeri. Selama ini masyarakat di daerah kesulitan mendapatkan angkutan umum yang disubsidi.

Menurut Darmaningtyas, jika ada pembenahan transportasi  publik, maka ojek online yang disebut sebagai transisi transportasi publik ini lama kelamaan akan bergeser keberadaannya. (*)