Tempo.Co

Definisi RUU Terorisme Masih Diperdebatkan
Selasa, 15 Mei 2018
diskusi Forum Legislasi dengan tema 'RUU Teroris Dikebut, Mampu Redam Aksi Teror. Media Center, Gedung Nusantara III, Komplek Parlemen, Senayan. Selasa, 15 Mei 2018. (Foto: Tempo/Sukarnain)

Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamal meminta semua kalangan menghargai proses berjalannya pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Terorisme. Menurutnya, selaku Anggota Pansus RUU Terorisme, saat ini ketentuan tersebut hampir rampung, hanya masalah definisi saja yang masih dalam perdebatan. Sebab ada beberapa pandangan yang menganggap jika definisi tidak perlu dan beberapa lagi menilai pengertian harus diberikan untuk sebagai bentuk kedaulatan.

“Saya selaku Anggota Pansus, mendapat laporan bahwa semuanya sudah hampir rampung. Cuma hanya definisi yang belum selesai,” tuturnya dalam diskusi bertajuk 'RUU Terorisme' di Gedung DPR RI, Selasa 15 Mei 2018.

Dalam pembahasan saat ini, ada pemisahan empat kosa kata terkait terorisme yakni terorisme, teror, kelompok terorisme, dan tindakah teror. Kesemua kosa kata itu diartikan secara berbeda. Misalnya pengertian tindakan teror yang dilakukan seseorang, belum tentu dikategorikan sebagai bagian terorisme. 

Rencana Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu), sah saja menurut Nasir. Namun dia berharap pemerintah tetap menghormati proses pembahasan RUU yang kini masih berlangsung.

Sementara itu Peneliti dan Penulis buku Ancaman ISIS Partogi Nainggolan mengatakan jika definisi dalam revisi UU Terorisme seharusnya tidak menjadi perdebatan dan tidak perlu dipertanyakan lagi terutama bagaimana peran TNI dalam pembahasan ini. Dia meminta DPR sebagi legislasi terbuka ketika membahas RUU ini. Sehingga ketika undang-undang ini berlaku, ada ukuran yang jelas.

“Yang bisa dipahami adalah perbuatan pidananya, analisis yang terukur,” kata Partogi.

Wakil Ketua Pansus RUU Arsul Sani mengakui jika pembahasan RUU Terorisme memang memakan waktu panjang. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Di negara Inggris pembahasan revisi UU terorisme sudah dilakukan sejak 2012 namun baru disahkan sekitar 2015. Begitu juga di Kanada, pembahasan undang-undang terorisme baru selesai setelah menghabiskan waktu tiga tahun. 

“Kenapa lama, karena dari sisi undang-undang, nature dari negara manapun memang tidak pernah cepat. Kedua, undang-undang ini menyerap aspirasi yang paling banyak daripada undang-undang lain, padahal undang-undang ini tidak lebih dari 20 pasal. Kemudian dalam perjalanannya, masing-masing fraksi menyampaikan posisi politik hukumnya masing-masing dengan aspirasi yang mereka terima.  Yang membuat lama ketika isu perluasan pelibatan TNI. Ini yang kemudian menjadi sebab studi perbandingan ke Amerika dan Inggris,” ujar Arsul. (*)