Tempo.Co

Pemerintah Ragu-ragu Patok Asumsi Makro RAPBN 2017
Selasa, 19 Juli 2016
Dalam kondisi pelemahan ekonomi, kematangan pemerintah sangat dibutuhkan dalam memproyeksikan ekonomi ke depan.

Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menilai pemerintah ragu-ragu dalam mematok asumsi makro untuk RAPBN 2017, dengan alasan kondisi ekonomi domestik dan global masih diselimuti ketidakpastian.

“Seharusnya, dalam kondisi seperti ini kematangan pemerintah sangat dibutuhkan dalam memproyeksikan ekonomi ke depan. Up date data harus selalu dilakukan agar ekonomi nasional tidak terus terjatuh,” ujar dia, Selasa, 19 Juli 2016.

Heri mengatakan banyak yang harus diperhatikan pemerintah dengan kondisi seperti itu. Misalnya BI rate masih tidak menentu karena terkait faktor eksternal, inflasi yang masih di koridor 3-4 persen, dan SBN yang kurang berpihak pada bisnis yang kondusif.  Selain itu, pemerintah juga harus memperhatikan perlambatan ekonomi Tiongkok karena adanya rapid aging society (cepatnya peningkatan populasi usia tua). Masalah lainnya adalah potensi arus modal keluar dalam jangka pendek, yang dipastikan segera menekan nilai tukar rupiah. Belum lagi risiko penyerapan anggaran yang kecil di daerah.

”Dengan keadaan seperti itu, ke depan perekonomian nasional tetap tidak akan menunjukkan perkembangan yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi yang nanti dihasilkan tidak akan mengubah apa pun. Yang miskin tetap miskin, dan yang rentan miskin sangat mungkin jatuh miskin. Saat ini saja jumlah penduduk miskin sudah mencapai 28,51 juta orang atau sekitar 11,13 persen,” kata politisi Gerindra ini.

Adapun asumsi makro ekonomi di RAPBN 2017 yang telah disampaikan pemerintah kepada Komisi XI terdiri dari pertumbuhan ekonomi 5,3-5,9 persen, inflasi 3-5 persen, nilai tukar rupiah dipatok Rp 13.650-Rp13.900 per dolar AS, dan SBN 5-5,5 persen. Menurut Heri, yang paling realistis adalah pertumbuhan ekonomi 5,2-5,5 persen, inflasi 3-4,5 persen, nilai tukar rupiah Rp 13.300-Rp 13.500 per dolar AS, dan SBN 5,0-5,5 persen. “Idealnya, penyusunan RAPBN lebih realistis dan berdasarkan kondisi perkembangan ekonomi yang ada,” ucap Heri.

Heri juga menjelaskan angka pengangguran berpotensi terus meningkat hingga hampir 8 juta orang. Pemerintah belum mampu membuka lapangan kerja baru. Bahkan, sebagian besar satuan bisnis, termasuk UMKM telah melakukan efisiensi. Tak sedikit yang menutup usaha karena tak sanggup lagi menanggung beban operasional. Apalagi pasar kini masih lesu.Yang menyedihkan lagi, lapangan kerja yang tersedia mulai diisi oleh tenaga kerja asing.

“Jadi pemerintah harus bekerja keras lagi dalam mendorong perekonomian nasional yang kuat dan punya dampak nyata untuk kesejahteraan masyarakat. Dari berbagai survei yang ada, mayoritas masyarakat menilai buruk kesejahteraan masyarakat pada Pemerintahan Jokowi,” tutur mantan Wakil Ketua Komisi VI DPR ini.

Sementara itu, kata Heri, masyarakat yang tidak puas atas kinerja Pemerintahan Jokowi di atas 50 persen, dan terus meningkat sejak dilantik pada Oktober 2014 lalu. Semua angka ini merupakan refleksi atas kegagalan pemerintah menciptakan perekonomian nasional yang kuat. “Ini sudah waktunya menjadi warning keras bagi pemerintah agar tidak santai,” kata Heri. (*)