Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf menekankan agar negara tidak boleh ikut-ikutan panik seperti masyarakat saat ini dalam menghadapi peredaran vaksin palsu. Tapi yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah memiliki SOP (Standar Operasional Prosedur) untuk menanggulangi kepanikan seperti ini.
"Karena itu, kita sudah sepakat membuat crisis center yang di dalamnya bukan hanya unsur pemerintah saja, tapi juga ada polisi, puskesmas, dan dinas kesehatan. Di sini masyarakat bisa mendapatkan data dan faskes serta rumah sakit bisa memberi data," kata dia saat menjadi pembicara dalam acara dialektika demokrasi di Kompleks Parlemen, Kamis, 21 Juli 2016.
Jadi, Dede meminta masyarakat agar jangan panik dalam menghadapi kasus vaksin palsu ini, tapi segera menghubungi crisis center ini.
Menurut Dede, Komis IX juga tetap akan mengawal kasus ini dengan membentuk Panja Pengawasan Peredaran Obat dan Vaksin Palsu. "Kita ingin mencari kemana arah peredaran vaksin palsu ini, kenapa terjadi, kok dengan mudahnya orang bisa membelinya, apa masuknya dari distributor atau impor, kenapa peraturannya sangat lemah. Kita ingin tahu semua ini," tutur Dede.
Kata Dede, Panja akan bekerja selama tiga bulan untuk kemudian memberikan rekomendasi kepada pemerintah tentang apa yang harus dilakukan.
Sementara Ketua Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo yang juga menjadi pembicara dalam acara ini mengatakan bahwa sebenarnya kasus vaksin palsu ini spektrumnya sangat luas. Menurut dia, ada delapan isu yang bisa dikembangkan dari kasus ini. Di antaranya isu kebijakan kompetisi. Kata Sudaryatmo, Indonesia bayar obat itu lebih mahal dibanding negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina. "Hal ini terjadi karena penguasa obat di sini itu hanya dilakukan segelintir orang saja," tuturnya.
Isu lainnya adalah terkait kelembagaan pengawasan obat. Menurut Sudaryatmo, di beberapa negara model pengawasan obat dilakukan secara single security, berbeda dengan Indonesia yang melakukan model multi actor. "Dalam kasus vaksin palsu, model multi actor ini tidak efektif, sehingga perlu ditata ulang," katanya.
Isu pengelolaan limbah juga bisa dikembangkan dalam kasus vaksin palsu ini, dimana banyak rumah sakit yang pengelolaan limbahnya bermasalah. Isu lainnya adalah isu perlindungan konsumen, isu penyalahgunaan profesi, isu penegakan hukum, dan isu pemberi informasi.
Khusus dari isu perlindungan konsumen, ia mengkritisi pemerintah yang sangat lemah dalam emergency respon, terutama mitigasi respon pasca pengumuman nama-nama rumah sakit tempat pengedaran vaksin palsu. "Seharusnya kasus ini bisa dilakukan lebih soft. Bukan dengan menyuruh korban meminta informasinya langsung ke pihak rumah sakit. Di sini tanggung jawab pemerintah tidak hadir," ucap Sudaryatmo. (*)