Tempo.Co

Pemotongan Anggaran Menunjukkan Pemerintah Inkompeten
Kamis, 11 Agustus 2016
Perubahan terhadap anggaran hanya bisa dilakukan kalau ada keadaan memaksa atau darurat.

Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengatakan pemotongan anggaran sebesar Rp 133 triliun yang dilakukan Menkeu Sri Mulyani  sangat mengejutkan, karena DPR baru saja menyetujui APBNP seminggu lalu.

"Ini sebetulnya adalah satu koreksi terhadap presiden sendiri dan juga pemerintahan sekarang. Karena perencanaan penganggaran itu dilakukan oleh pemerintah. Berarti pemerintah sendiri yang inkompeten atau tidak kompetensi untuk menyusun anggaran itu dan dikoreksi oleh menteri keuangan baru," kata Fadli dalam acara Dialektika Demokrasi 'Pajak dan RAPBN 2017' di ruang media center DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis, 11 Agustus 2016.

Artinya, kata Fadli, apa yang sudah disepakati itu dimentahkan kembali. Menurut dia, perubahan terhadap anggaran hanya bisa dilakukan kalau ada keadaan memaksa atau darurat. "Tapi ini kan substansial sifatnya. Baru disahkan dalam waktu sekitar satu minggu dan mau ada pemotongan. Artinya, apa yang direncanakan presiden, apa yang dianggarkan oleh pemerintah itu dikoreksi total," ucapnya.

Fadli menegaskan pemerintah tidak bisa seenaknya memotong anggaran dan kemudian harus diberlakukan. "Itu harus diajukan kembali ke DPR sebagai APBNP jilid 2 misalnya. Jadi tidak bisa kemudian pemerintah melakukan itu. Kecuali pada level realisasi anggaran. Tapi kalau ini kan substansial," katanya.

Ini akan berdampak besar, termasuk pada pertumbuhan. Karena untuk target pertumbuhannya sendiri itu tidak diubah dan tetap 5,3 persen. "Ini kan persoalan yang menurut saya sederhana saja. Bagaimana negara mengelola keuangan pembangunan, pertumbuha, dan sebagainya. Tentu saja ada penerimaan dan pembelanjaan. Penerimaan itu dipatok sedemikian tinggi tapi pada kenyataannya realisasinya tidak seperti yang diharapkan. Dan defisitnya cukup tinggi, Rp 296 triliun atau 2,35 persen dari PDB. Negara tekor. Ditambah tax amnesty yang ditargetkan Rp 165 triliun. Iya kalau tax amnesty ini tercapai. Kalau tidak, tekor kita akan besar. Apalagi kalau penerimaan itu jauh dari yang diharapkan."

Kata Fadli, jika defisit melampaui 3 persen dari PDB,  itu berati pelanggaran terhadap UU. Kalau itu terjadi akan memiliki implikasi-implikasi politik. Jadi harus dijaga.

Menurut Fadli, lemahnya perencanaan penganggaran ini menunjukkan tata kelola pemerintahan sekarang ini terlalu banyak keinginan. Nafsunya besar ingin membangun di sana-sini, tapi tenaga untuk mengumpulkan dana dan sebagainya kurang. Akhirnya bergantung pada utang. "Ini menurut saya tindakan yang tidak bertanggungjawab dari pemerintahan sekarang yang terus menambah utang. Jadi seharusnya pemerintahan sekarang ini mengevaluasi apa yg sudah dilakukan," tuturnya.

Menurut Fadli, pembangunan infrastruktur tentu saja bagus, apalagi kalau ada uangnya. "Tapi kalau tidak ada uangnya, masak kita harus memaksakan diri membangun infrastruktur. Itu sebenarnya untuk siapa. Sementara ekonomi rakyat itu tidak berjalan," ucapnya.

Jadi penting pemerintah mengevaluasi, terutama presiden yang sangat ambisius untuk membangun infrastruktur. "Jadi menurut saya, perubahan terhadap postur APBN itu harusnya berorientasi kepada politik anggaran yang berpihak kepada ekonomi rakyat," katanya. (*)