Tempo.Co

Wacana Kenaikan Harga Rokok Timbulkan Kegaduhan
Selasa, 23 Agustus 2016
Tanpa dinaikkan harganya, penerimaan cukai rokok sudah mulai menurun akibat berbagai kebijakan yang ada, termasuk peredaran rokok ilegal

Pemerintah dinilai tidak bijak menghembuskan wacana menaikkan harga rokok Rp50 ribu per bungkus.  Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan, Selasa 23 Agustus 2016 mengatakan wacana ini menciptakan kegaduhan baru.

Diawali dari hasil penelitian Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK), Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, yang kemudian menjadi viral di media sosial. Hasil penelitian ini kemudian diambil sebagai dasar kebijakan.

Padahal seharusnya, proses pengambilan suatu kebijakan itu harus memperhatikan banyak faktor, terutama sekali dampak sosial-ekonomi masyarakat.  Kebijakan menaikkan harga rokok dicurigai sarat kepentingan. Bila terjadi kenaikan harga rokok, dampaknya akan sangat luas dan sistemik yakni rusaknya struktur industri rokok, terancamnya petani tembakau, hingga ledakan pengangguran yang berujung pada munculnya kelompok miskin baru.

Heri menolak keras rencana kenaikan ini. Katanya, kelak akan banyak pabrik rokok tutup, terutama rokok kretek yang sebetulnya sudah sangat tertekan oleh serbuan rokok luar. Pengangguran dan kelompok miskin baru akan muncul. Tahun 2014, industri rokok melibatkan 5,98 juta pekerja yang terdiri dari 4,28 juta pekerja di sektor manufaktur plus 1,7 juta pekerja di sektor perkebunan. Jumlah pabrik rokok yang semula 4.669 telah berkurang menjadi 700 pada 2015 akibat kebijakan beberapa tahun belakangan ini.

Terganggunya struktur industri rokok berdampak pada penerimaan cukai dalam APBN. Tahun 2015 saja, tercatat penerimaan cukai sebesar Rp144,6 triliun atau 96,4 persen adalah sumbangan dari cukai rokok. Ini jauh lebih tinggi dari kontribusi deviden BUMN yang hanya mencapai Rp37 triliun.

“Tanpa dinaikkan harganya, penerimaan cukai rokok sudah mulai menurun akibat berbagai kebijakan yang ada, termasuk peredaran rokok ilegal yang sudah mencapai 11,7 persen yang sudah merugikan negara sekitar Rp9 triliun. Akibatnya, penerimaan cukai di kuartal I-2016 turun 67 persen dari kuartal I-2015 atau menjadi hanya Rp7,9 triliun dari yang tadinya sebesar Rp24,1 triliun,” katanya.

Kenaikan harga rokok tidak otomatis membuat perokok berhenti merokok, akan tetapi cenderung beralih ke rokok ilegal. Akibatnya peredaran rokok ilegal naik drastis.

Ini jadi masalah baru lainnya. Untuk itu, pemerintah perlu mengkaji secara komprehensif kebijakan tersebut. Jika tujuannya menaikkan penerimaan cukai 2017 yang ditargetkan sebesar Rp157,16 triliun, seharusnya tidak jadi boomerang karena cukai hasil tembakau ditargetkan sebesar Rp149,88.  (*)