Tempo.Co

DPR Tolak Kenaikan Harga Rokok
Kamis, 25 Agustus 2016
Soal hasil survei, pemerintah seharusnya mengutamakan kepentingan masyarakat.

Pimpinan Pergerakan Perlawanan Petani Tembakau dari LIPI Mohamad Sobary mengatakan bahwa sejumlah aturan tentang tembakau adalah upaya negara untuk membunuh industri rokok dan kehidupan para petani tembakau. Sobary mengatakan, sejak era kepemimpinan Presiden B.J Habibie, sudah ada aturan tentang tembakau. Dan setiap kali berganti kepemimpinan, aturan ini diganti dan pada masa era kepemimpinan Megawati, ketentuan yang diterbitkan menguntungkan petani tembakau.

“Kemudian, aturan itu dicabut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dibuat ketentuan baru yang menguntungkan kepentingan asing. PP 109 Tahun 2012 menjadi tamparan buat petani. Teman-teman petani melawan,” kata Sobary dalam dialektika demokrasi ‘Rokok, Pajak dan Naib Petani Tembakau’ di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis 25 Agustus 2016.

Selain Sobary, Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan, Anggota Komisi XI DPR RI Mokhamad Misbakhundan Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Pamudji juga mengemukakan pendapatnya.

Berkaitan dengan isu seputar kenaikan harga rokok, Sobary meminta pemerintah tidak memihak pada hasil-hasil survei semata. Akan tetapi lebih mementingkan kepentingan bangsa sehingga kekayaan alam Indonesia tidak dirampas bangsa lain. Supaya peristiwa masa silam tidak terulang seperti saat kopra dianggap tidak bernilai, kini hasil alam Indonesia itu diproduksi Amerika diam-diam.

“Survei UI terhadap 1000 orang itu sengaja untuk pengaruhi kebijakan pemerintah. Seperti Snouck Hurground yang menyentuh Aceh justru untuk membunuh orang Aceh. Jadi, semua aturan rokok ini untuk kepentingan asing,” ujar Sobary.

Misbakhun mengatakan jika survei kenaikan rokok Rp 50 ribu yang diprakarsai oleh Universitas Indonesia itu untuk kepentingan asing. Sebab, kegiatan survei dibiayai oleh Bloomberg sekitar Rp 4,5 miliar.

“Pemerintah harus hati-hati dalam mengambil kebijakan,” tutur Misbakhun.

Selain itu, dia mengatakan bahwa setiap kenaikan cukai tidak selalu identik dengan penerimaan negara, karena selalu lahir banyak pabrik rokok illegal.

Sementara itu, Heri meminta pemerintah tidak menimbulkan kegaduhan baru. Tetapi Heri menduga jika isu kenaikan rokok Rp 50 ribu adalah gonjang-ganjing politik dan bentuk kepanikan pemerintah pada pabrikan rokok yang sebelumnya mencapai 4600, tetapi kini tersisa 300 pabrik.

Heri khawatir isu ini untuk tes masyarakat di tengah kebuntuan pendapatan pajak dan defisit anggaran.  Pajak dari cukai rokok mencapai Rp 146 triliun pada 2015 hingga 2016, sementara dari 100 BUMN capaian hanya Rp 30 triliun.

“Kami akan menolak kalau pemerintah akan menaikkan harga rokok hanya berdasarkan survei,” ujarnya.

Sementara itu Pamudji mengatakan isu rokok ini pukulan terhadap bangsa ini khususnya bagi petani di 14 provinsi. Untuk itu, semua petani menolak kenaikan itu karena sebagai pembunuhan massal terhadap petani tembakau. Dia berharap RUU tentang Tembakau segera diproses menjadi undang-undang. “Rokok penyumpang terbesar pada APBN, APBD dan masyarakat. Jadi, harus ada kejelasan keperpihakan negara kepada petani melalui UU, dan menaikkan cukai dari 2 persen menjadi 20 persen untuk kepentingan pemberdayaan petani,” kata Pamudji.(*)