Tempo.Co

Konvensi Ketenagakerjaan Maritim 2006 Diharapkan Penuhi Hak Kerja Pelaut
Jumat, 09 September 2016
Indonesia menjadi negara poros maritim dengan jumlah tenaga kerja pelaut terbesar kedua setelah Filipina.

Rancangan Undang-Undang tentang Konvensi Internasional mengenai Ketenagakerjaan Maritim 2006 (Maritime Labour Convention, 2006) secara implementatif diharapkan dapat memenuhi hak-hak tenaga kerja pelaut. Hal tersebut disampaikan Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf dalam pidatonya di Rapat Paripurna DPR RI ke-6, Kamis, 8 September 2016.

Ratifikasi Konvensi Perlindungan Pekerja Migran oleh Indonesia dapat memperkuat landasan hukum bagi kebijakan nasional. Terutama dalam meningkatkan sistem perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak-hak tenaga kerja pelaut yang sifatnya mobile sesuai dengan norma-norma hak asasi manusia.

Konvensi Ketenagakerjaan Maritim 2006 memuat lima pengaturan pokok. Pertama, pengaturan tentang persyaratan minimum ketenagakerjaan sebagai pelaut. Pengaturan ini memuat batasan umur, sertifikasi kesehatan, pelatihan dan kualifikasi, perekrutan, serta penempatan.

Kedua, kondisi hubungan kerja yang memuat perjanjian kerja, gaji, jam kerja dan jam istirahat, izin tidak bekerja, dan repatriasi. Ketiga, akomodasi, fasilitas bersantai, makan dan catering, yang memuat tentang kamar-kamar mes pelaut, fasilitas rekreasi, fasilitas kebersihan, fasilitas laundry, klinik kesehatan, kantor, penyediaan makanan, air bersih, kebersihan, dan fasilitas lain.

Keempat, perlindungan dan pelayanan kesehatan, kesejahteraan dan jaminan sosial yang memuat jaminan pemilikan kapal terhadap perlindungan kesehatan, serta kecelakaan dan jaminan sosial ketenagakerjaan maritim.

Kelima, mengatur pengaduan dan tindakan penyelesaian permasalahannya. 

“Indonesia menjadi poros maritim dengan jumlah tenaga kerja pelaut terbesar kedua setelah Filipina sesuai dengan data ILO. Kondisi ini jelas membutuhkan sistem perlindungan yang lebih baik bagi tenaga kerja pelaut,” kata Dede. (*)