Anggota Komisi X DPR RI Noor Ahmad mengatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perbukuan masih dibahas. Hal ini karena perkembangan perbukuan sangat kompleks, seperti masalah tentang buku, jenis buku, penulis, penerbit, percetakan, distribusi, pembiayaan, perlindungan, penghargaan, dan sebagainya.
Saat ini, Komisi X DPR RI sedang konsinyering RUU ini. Dari 565 DIM (daftar inventarisasi masalah), diharapkan keseluruhan perkembangan perbukuan selesai pada 2016.
“RUU Sistem Perbukuan ini sudah lama dibahas, sekitar 10 tahun,” ujar Noor dalam forum legislasi “RUU Sistem Perbukuan” bersama Direktur Pustaka Penerbit Yayasan Obor Indonesia Kartini Nurdin di gedung DPR RI Jakarta, Selasa, 20 September 2016.
Dalam RUU ini, DPR ingin ada Dewan Buku Nasional (DBN) agar setiap buku yang terbit dan masuk ke Indonesia dari luar negeri, baik dalam bentuk tulisan, gambar, audio, video, maupun gabungan, mendapat pengawasan dengan baik. RUU ini akan semakin penting karena pemerintah akan memberikan biaya bagi buku-buku penting hasil riset ilmiah dan sebagainya.
“Yang terpenting lagi isi atau konten buku itu tak boleh bertentangan dengan Pancasila, UUD NRI 1945, dan tak boleh SARA karena bahaya bagi anak-anak. Hanya saja, yang namanya buku itu universal, tak bisa dibatasi, dan bisa masuk dari luar negeri,” kata Noor.
Noor mengusulkan perlunya zonasi buku karena pentingnya mengembangkan local wisdom atau kearifan local sesuai dengan potensi daerah masing-masing. Misalnya, untuk daerah Kalimantan dan Nusa Tenggara Timur, yang kaya akan tambang, pertambangan yang harus dikembangkan dengan melakukan riset dan sebagainya. “Langkah ini juga untuk melahirkan penulis-penulis daerah,” tuturnya.
Mengenai hak intelektual, hak ilmiah melekat pada penulis, bukan pada penerbit atau orang lain dan akan disebut sebagai pelanggaran pidana, juga merupakan plagiat besar-besaran.
Sementara itu, menurut Kartini, saat ini jumlah penerbit ada 1.300-an. Namun tidak semuanya aktif. Sebab, dunia perbukuan mengalami kelesuan. Penerbit pun mengalami hal serupa. Namun, menurut anggota Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) ini, mereka belum melakukan penelitian tentang kelesuan tersebut. Penulis dan penerbit harus melakukan kerja sama yang baik, karena tidak mungkin penerbit menyengsarakan penulis. (*)