Panitia Kerja (Panja) Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) Komisi III DPR RI menerima masukan dari Pansus (panitia khusus) Kebakaran Hutan DPRD Riau dan sejumlah LSM pemerhati lingkungan, seperti Walhi, ICEL, dan Jikalahari, terkait terbitnya SP3 (surat penghentian penyidikan perkara) atas kasus kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau.
“Ada beberapa temuan yang disampaikan. Pertama, terkait permasalahan hukum terbitnya SP3. Ada permasalahan dalam penegakan hukum. Mereka meminta untuk ditindaklanjuti, termasuk putusan yang telah berkekuatan hukum tetap,” ujar Wakil Ketua Komisi III DPR RI Benny K. Harman di ruang rapat Komisi III DPR, Senayan Jakarta, Selasa, 20 September 2016.
Pansus Karhutla DPRD Riau, menurut Benny, mengungkapkan kerugian negara akibat praktek yang dilakukan perusahaan tersangka pembakaran hutan. Tidak hanya kerugian fisik, seperti bencana asap yang sempat menelan korban jiwa, juga kerugian dalam sektor ekonomi.
Adapun beberapa LSM pemerhati lingkungan menyatakan ada perusahaan besar yang menjadi tersangka penerima SP3 dari kepolisian, tapi setiap tahun melakukan hal yang sama (tersangka pembakaran hutan dan lahan-red) dan selalu lolos dalam kasus tersebut.
Tidak hanya itu, Panja Karhutla Komisi III DPR juga menerima masukan dalam sisi legislasi dan regulasi. Menurut Henri Subagyo dari ICEL, ada beberapa regulasi yang menjadi celah bagi perusahaan untuk melakukan pembakaran hutan dan lahan. Salah satunya Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 11 Tahun 2012 tentang ketentuan yang membolehkan perusahaan kelapa sawit hanya memiliki dua puluh persen tandan buah dari lahannya sendiri. Sementara sisanya yang berjumlah delapan puluh persen bisa diambil dari lahan masyarakat kecil. Kondisi ini memunculkan celah bagi pelaku membakar hutan dan lahan untuk membuka lahan baru. (*)