Anggota Komisi II DPR Ahmad Baidowi mengatakan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu sudah cukup telat. Hal ini mengingat ada tiga undang-undang yang mau digabung, yaitu Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu, Undang-Undang Pemilu Legislatif, dan Undang-Undang Pemilu Presiden.
“Sementara saat ini proses seleksi terhadap penyelenggara pemilu sudah dilakukan. Idealnya, proses seleksi penyelenggara pemilu itu kan harus menggunakan undang-undang yang sudah disahkan,” ujar Baidowi dalam acara Forum Legislasi di Media Center, Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa, 27 September 2016.
Ia menuturkan, karena hingga kini pemerintah belum mengirim draf RUU ke DPR, untuk seleksi penyelenggaraan pemilu terpaksa memakai undang-undang lama. “Tapi itu tidak masalah, karena itu memang norma hukum yang masih berlaku,” tuturnya.
Baidowi menuturkan, ada beberapa isu krusial yang kemungkinan pembahasan antara pemerintah dan DPR nanti akan alot. Mengutip data pemerintah, ada 13 isu krusial. Hal ini karena pada pemilu 2019 nanti, pemilunya baru, yaitu dengan pemilu serentak antara pemilu legislatif dan presiden sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut dia, dari 13 isu itu, ada beberapa yang membutuhkan pembahasan serius. Pertama, tentang sistem pemilu apakah menggunakan sistem tertutup, terbuka terbatas, atau terbuka murni. “Menurut saya, dengan sistem terbuka terbatas cukup bagus. Sebab, kewenangan partai politik masih cukup kuat mengingat peserta pemilu itu partai politik. Fakta yang ada, yang berhak mengajukan calon legislatif itu adalah parpol,” ucapnya.
Isu krusial lain adalah perihal parliamentary threshold. “Dalam konteks penyederhanaan parpol, saya beranggapan threshold itu tetap ada, tapi di angka 3,5 persen. Itu menurut saya sudah cukup moderat. Sebab, dengan angka itu, ada sekitar 22 juta pemilih yang hilang,” tutur Baidowi.
Isu krusial lain yang tak kalah penting adalah soal penataan dapil, pemilu presiden, dan keterwakilan perempuan di DPR. (*)