Panitia Kerja (Panja) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menerima masukan dari para pakar hukum dan politik. Salah satunya masukan terkait penghapusan hukuman mati yang diungkapkan pakar hukum Todung Mulya Lubis di Ruang Rapat Komisi III DPR-RI, Senayan, Jakarta, Rabu, 5 Oktober 2016.
“Saya kembali pada keputusan PBB untuk menghapuskan hukuman mati. Dan kalaupun hukuman mati tetap berlaku, itu hanya bisa dijatuhkan untuk the most serious crime atau kejahatan paling serius dan langsung menyebabkan kematian. Misalnya, pembunuhan berencana yang sangat sadis. Di luar itu, tidak ada yang bisa disebut the most serious crime,” ujar Todung.
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi III DPR-RI Saiful Bahri Ruray mengatakan bahwa hukuman mati sejauh ini memang masih menjadi pro dan kontra, tidak hanya di masyarakat, tapi di mata para pakar atau ahli hukum. Ada yang menganggap bahwa hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia karena sejatinya hukuman modern lebih dikonsepkan sebagai reedukasi dan resosialisasi, bukan sarana balas dendam.
“Hukuman modern lebih dikonsepkan sebagai reedukasi dan resosialisasi, bukan sarana balas dendam. Namun, saya melihat hukuman mati masih diperlukan untuk menimbulkan efek jera. Yang dijelaskan oleh Pak Todung Mulya Lubis tentang the most serious crime, itu belum jelas karakteristiknya karena menurut saya, kejahatan narkoba juga termasuk the most serious crime. Bagaimana tidak, setiap harinya ada 34 anak muda di Indonesia yang meninggal karena narkoba. Ini menjadi sebuah kejahatan yang serius. Karena itu, tetap harus dijatuhi hukuman mati,” papar Saiful. (*)