Tempo.Co

Perlukah Lembaga Survei Diakreditasi?
Kamis, 06 Oktober 2016
Lembaga perlu diatur karena sifat ilmiah, intelektual, dan profesional, tidak berpihak, harus obyektif dan menjaga integritas.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Riza Patria berharap keberadaan lembaga survei diatur dan diakreditasi. Hal ini bertujuan agar hasil pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam dialektika demokrasi "Menguji Integritas Lembaga Survei Menjelang Pilkada" di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis, 6 Oktober 2016, Riza mengatakan lembaga yang berkembang di Indonesia cenderung menjadi tim sukses atau konsultan kalangan atau pasangan calon tertentu. Padahal lembaga penting untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat dan mengawal demokrasi yang sehat.

“Perlu pengaturan karena lembaga ini ilmiah, intelektual, dan profesional, sehingga tidak boleh berpihak, tetap harus obyektif dan menjaga integritas,” ujarnya.

Diskusi ini juga menghadirkan narasumber anggota Komisi II DPR RI Rahmat Hamka, peneliti utama LIPI Siti Zuhro, dan Philips J. Vermonte dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

Sementara itu, Rahmat Hamka mengatakan, selain independen, hasil sebuah lembaga harus obyektif, dan transparan dalam hal pendanaan. Hasil lembaga yang menjadi bagian dari parpol atau calon kepala daerah, tidak dapat dipertanggungjawabkan secara politik dan hukum.

Menurut Philips, pada prinsipnya survei membantu masyarakat, khususnya calon pimpinan, untuk menghitung peluang kemenangannya. Namun, walau capaian hasil surveinya rendah, pasangan calon tersebut belum tentu kalah, karena dapat menghitung kesempatan lain dengan mengubah metodologi survei. Upaya ini pernah terjadi seperti peluang Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden dalam pemilu 2004. Dari capaian hanya 6 persen, kemudian menjadi presiden terpilih.

Namun, kata Philips, lembaga ini tidak perlu diatur, karena yang akan menilai masyarakat. Cukup meningkatkan transparansi dan terus mendorong kajian ilmiah. “Memang saat ini banyak lembaga survei muncul dan tidak kredibel, tapi media tetap memuat hasil surveinya. Dalam mempublikasikan hasil, CSIS menyerahkan data mentah,” ujarnya. 

Siti Zuhro mengakui sejak 2008 tidak percaya hasil survei. Lembaga survei baru muncul tahun 2004 saat pemilihan presiden dan saat pemilihan kepada daerah tahun 2005. Sayangnya, hasil survei menimbulkan konflik, karena margin error 5 persen dimanfaatkan untuk memenangkan calon tertentu.

Karena itu, kata Siti, lembaga survei harus profesional. Kalau tidak, lembaga survei itu telah melakukan kebohongan publik. 

“Boleh mencari uang, tapi harus proporsional dan tidak menghalalkan segala cara. Kalau tidak, kita akan sulit membangun konsolidasi demokrasi ini,” ujar Siti. (*)