Tempo.Co

Badan Penyelenggara Ibadah Haji Harus Segera Dibentuk
Selasa, 11 Oktober 2016
Kehadiran BPIH dapat membantu proses penyelenggaraan haji sehingga menjadi lebih baik.

Anggota Komisi VIII DPR RI Maman Imanul Haq, Khatibul Umam Wiranu, dan Ketua Ikatan Persaudaraan Ibadah Haji (IPHI) Abdul Kholiq Achmad mendesak Kementerian Agama (Kemenag) RI segera melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 untuk membentuk Badan Penyelenggara Ibadah Haji (BPIH) yang fokus pada penyelenggaraan ibadah haji.

Dengan kehadiran BPIH, proses penyelenggaraan haji akan lebih baik, dengan pengelolaan keuangan yang lebih transparan dan akuntabel. Selama ini penyelenggaraan haji kurang optimal karena Kemenag RI terlalu banyak menangani masalah haji.

Hal ini disampaikan dalam forum legislasi “RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU)” di gedung DPR RI Jakarta, Selasa, 11 Oktober 2016.

Maman menilai selama ini Kemenag RI menolak pembentukan badan penyelenggara haji tersebut. Padahal tujuannya adalah agar pelayanan penyelenggaraan ibadah haji makin baik.

“Penyelenggaranya pun bisa tetap pejabat Kemenag RI dengan memenuhi syarat tertentu. Jadi antara operator, regulator, dan pengawas nantinya lebih jelas, dan penyelenggaraannya lebih nyaman,” ujarnya.

Asuransi jemaah haji, menurut Maman, juga penting. Sebab, hingga hari ini janji pemerintah Arab Saudi memenuhi ganti rugi untuk korban crane (kecelakaan dalam proses pembangunan dan perluasan Masjidil Haram Mekah), yang terjadi pada musim haji tahun 2015 belum terealisasi.

Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) ini harus ditertibkan agar tidak terjadi kasus haji ilegal seperti melalui imigrasi Filipina. Juga kuota haji harus ditertibkan agar tidak sampai terjadi antrean sampai 40 tahun seperti di Maros, Sulawesi Selatan. Sama pentingnya dengan badan pengelola keuangan haji (BPKH). Badan ini untuk mengurangi penggunaan uang jemaah haji. Dengan mengelola dana haji sendiri, Indonesia bisa membangun maktab, pemondokan, dan penerbangan sendiri.

Selain itu, diberikan kuota pembatasan, yakni yang sudah menunaikan ibadah haji baru boleh menunaikan haji kembali 10 tahun kemudian. “Jadi harus ada prioritas bagi jemaah haji yang sudah tua dan belum melaksanakan ibadah haji. Jangan sampai terjadi pemalsuan identitas (KTP) hanya pindah alamat rumah saja, bisa haji. Ini kan perlu ditertibkan,” tuturnya.

Dia juga menyinggung soal dana haji yang triliunan rupiah itu harus dimanfaatkan untuk kepentingan jemaah haji, dan bukannya untuk infrastruktur. Sehingga jemaah haji tidak menjadi komoditas, dan tidak ada pemerasan setiap musim haji.

Menurut Umam, tabungan haji berbeda dengan setoran haji. Setoran haji atas nama Kemenag RI, sedangkan kalau tabungan haji atas nama penabung sendiri. “Seharusnya dengan dana abadi haji itu kualitas pelayanan haji makin baik. Tapi, kalau untuk membangun hotel, Saudi menolak. Kita hanya boleh kontrak selama 10 tahun,” tuturnya.

Untuk antrean jemaah haji, kata Umam, memang boleh pendaftaran sekarang dihentikan untuk menata dari awal lagi. “Memang kita perlu diplomasi yang keras seperti Iran, yang tahun 2016 menyetop penyelenggaraan haji karena Arab Saudi dianggap tidak bertanggung jawab atas kasus crane, yang ratusan orang menjadi korban pada musim haji tahun lalu. Dan janji Saudi untuk memberangkatkan haji dan memberi hadiah uang miliaran rupiah itu sampai hari ini belum terwujud,” katanya.

Abdul Kholiq Achmad mengatakan banyak hal yang perlu diperbaiki dalam penyelenggaraan ibadah haji. Seperti perlunya badan penyelenggara operator ibadah haji (BPIH), regulator, pengelolaan keuangan haji, komisi pengawas haji (Komwas), kuota, dan sebagainya.

Pejabat-pejabat sebagai penyelenggara ibadah haji tersebut diseleksi oleh DPR RI dan pemerintah untuk mengikuti uji publik untuk menciptakan budaya dan iklim haji yang baik. Sebab, mengelola dana Rp 3 triliun lebih bukan sesuatu yang mudah. Ditambah lagi pekerjaan menteri harus menangani hal-hal yang teknis, turun ke lapangan, dan banyak pejabat tidak terkait terlibat. Hal itu pun mengakibatkan penyelenggaraan haji makin rumit. (*)