Sudah saatnya TNI dilibatkan dalam aksi pemberantasan terorisme. Ancaman terorisme sangat luas dan merambah ke semua sektor, baik di darat, laut, maupun udara. Untuk itu, tak cukup hanya Polri yang memberantasnya. Selama ini TNI hanya sebagai perbantuan. Padahal TNI memiliki kesiapan perlengkapan sekaligus personel untuk ikut memberantas terorisme.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi mingguan Forum Legislasi yang membicarakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Terorisme di Media Center DPR, Selasa, 18 Oktober 2016. Akbar Faisal, anggota Pansus RUU, ini mengungkapkan, dia pernah menerima delegasi TNI yang meminta agar kata “tindak pidana” dalam RUU Pemberantasan Terorisme dihapuskan. Dengan begitu, TNI bisa ikut terlibat. Bila terorisme terjadi di laut dan udara, Densus 88 yang diisi personel Polri tak mampu menjangkaunya.
TNI, kata Akbar, sudah membuktikan keberhasilannya saat membebaskan sandera di laut Somalia ketika terjadi pembajakan kapal Indonesia. Hanya saja, yang selalu jadi PR besar adalah koordinasi antara Polri dan TNI, karena masing-masing masih memiliki ego dan hegemoni. “TNI sering latihan untuk menghadapi terorisme, tapi tak pernah dilibatkan,” kata politikus anggota F-Hanura itu.
Ketua Pansus RUU Terorisme Muhammad Syafii mengungkapkan, RUU yang merupakan inisiatif pemerintah itu menginginkan tindak pencegahannya lebih banyak difokuskan daripada pemberantasannya. Menurut dia, perlu dibentuk pula dewan pengawas atas kerja Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Selama ini, kata dia, para korban terorisme yang sudah jadi penyandang disabilitas tak pernah diperhatikan. Ini bisa jadi bagian dari pengawasan yang ingin diangkat dalam pembahasan RUU Terorisme.
Sementara itu, anggota Komisi III Nasir Jamil menyatakan, ketidakadilan dan tidak terjaminnya keamanan kolektif selalu jadi sumber terorisme. Pihaknya setuju bila TNI kemudian dilibatkan dalam pemberantasan terorisme. Menurut dia, masalah terorisme tidak hanya hukum pidana, banyak sektor yang mengharuskan TNI masuk organisasi BNPT. Ia juga menyayangkan koordinasi dua institusi (Polri dan TNI) yang masih jadi barang mahal.
Nasir juga berpendapat, perlu ada satuan tugas (satgas) di tubuh BNPT agar pemberantasan terorisme lebih komprehensif. Misalnya, satgas pencegahan, satgas pemberantasan, dan satgas perlindungan korban. “F-PKS tidak keberatan dengan pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme,” ucapnya.
Analis militer Conny Rahakundini Bakrie berpandangan, pemisahan Polri dan TNI di awal reformasi jadi sumber lemahnya koordinasi dua institusi ini. Dan ironisnya lagi, Indonesia tak memiliki dewan keamanan yang menyatukan kerja dua institusi tersebut. Ia juga setuju TNI dilibatkan, karena jangkauan dan definisi terorisme sangat luas. Upaya kudeta dan makar yang ingin memisahkan negara juga masuk kategori terorisme. (*)