Komisi VII DPR RI meminta Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) tidak hanya memberikan rekomendasi, melainkan turut memonitor proyek-proyek di sektor energi yang berpotensi merugikan negara.
"Saya kira tidak ada alasan KPK untuk tidak ikut memonitor adanya potensi kerugian negara yang begitu besar di sektor energi," ujar Anggota Komisi VII Andi Jamaro Dulung saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Ketua KPK Agus Rahardjo di Ruang Rapat Komisi VII, Kompleks Parlemen, Rabu, 26 Oktober 2017.
Misalnya, di sektor ketenagalistrikan. Agus menuturkan masih banyak proyek pembangunan pembangkit yang diterminasi. "Tentu saja di sana ada potensi kerugian negara. Seharusnya, kita memberikan denda kepada mitra atau kontraktor yang gagal. Ini penting," ujarnya.
Hal senada disampaikan Anggota Komisi VII lainnya Hari Purnomo. Ia menuturkan banyak proyek di Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mangkrak, terutama yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta pinjaman. "Ini potensi kerugian yang sangat besar," ucapnya.
Hari melanjutkan, apalagi pemerintah sekarang memiliki proyek ambisius, yaitu proyek 35 ribu megawatt. "KPK harus bisa mencegah ini supaya kerugian negara tidak terulang. Saya yakin, ini akan berulang dan lebih parah lagi kerugiannya," tuturnya.
Berdasarkan hasil kajian KPK di sektor ketenagalistrikan, Ketua KPK Agus Rahardjo menilai penetapan pembelian harga energi primer oleh pemerintah kurang fleksibel. Kontrak individual power producer umumnya juga tidak ideal, banyak yang di luar kontrol PLN menjadi tanggung jawab PLN. "Yang juga perlu langkah dari kita adalah capacity factor dari program 10 ribu megawatt, yang secara rata-rata semuanya di bawah 60 persen. Ini sangat merugikan PLN karena ketidakpastiannya menjadi sangat besar," ucapnya.
"Untuk pembangkit listrik mikro hidro, kita merekomendasi supaya spesifik. Jadi tidak dipukul rata harganya. Sebab, setiap lokasi ternyata mempunyai karakteristik yang berbeda," ujar Agus. (*)