Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengatakan publik tidak memiliki mekanisme untuk menjalankan fungsi-fungsi pembuatan Undang-Undang, pengawasan dan alokasi politik anggaran negara, kalau tidak ada DPR yang kuat dan baik. Sementara jantung dari penguatan DPR itu adalah sistem penegakan etika di dalam DPR itu sendiri.
“jadi kita harus memberikan perhatian yang kuat terhadap hal ini, yaitu sistem penegakan etika itu harus komprehensif . Tapi DPR dan DPRD itu juga menerima apa yang datang dari luar,” kata Fahri usai menyampaikan materi dalam acara pembukaan Seminar Nasional Mahkamah Kehormatan DPR RI bertema "Sistem Penegakan Etika Lembaga Perwakilan" di Jakarta, Senin, 18 April 2016.
Karenanya, kata Fahri, harus dibuat sistem penegakan etika. Siapa pun yang masuk ke DPR itu bisa ‘dikurung’ dalam sistem etika yang sudah kuat, baik secara pencegahannya, dimana dari awal mereka dididik dan dilatih supaya lebih menghayati hidup sebagai pejabat publik, harus transparan, harus akuntabel, harus terhindar dari KKN, harus menegakkan prinsip-prinsip kehidupan yang baik, sehat, dan bermoral. “Tapi itu tidak bisa dilakukan kalau ada sistem lain yang bocor dan bobol,” katanya.
Sebelumnya, saat menyampaikan materi berjudul “ Etika Parlemen Modern”, Fahri mengatakan kode etik legislatif merupakan dokumen formal yang mengatur perilaku para legislator dengan menetapkan apa yang dianggap sebagai tindakan yang dapat diterima dan apa yang tidak. Dengan kata lain, kode etik itu ditujukan untuk menciptakan budaya politik yang menempatkan penekanan pada kepatutan, ketepatan, transparansi dan kejujuran dari perilaku Anggota Parlemen. “Namun kode etik sendiri tidak dimaksudkan untuk menciptakan perilaku itu sendiri,” ucapnya.
Kemampuan Anggota Parlemen dalam menjalankan keseluruhan kewajiban adalah sebuah perilaku yang mencerminkan integritas sebagai Anggota Parlemen. Dengan demikian, terbentuklah etika yang kemudian menjadi sebuah norma yang diikuti oleh setiap Anggota Parlemen. Maraknya korupsi, kekerasan di Parlemen, penggunaan identitas seperti ijazah palsu, tidak menghadiri rapat-rapat, tidak melakukan kunjungan ke daerah pemilihan dan kurangnya mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok, merupakan identitas rendahnya integritas pejabat publik. Salah satu jalur untuk menuntut tanggung jawab Anggota Parlemen seperti ini adalah melalui Mahkamah Kehormatan Dewan. (*)