Tempo.Co

Fahri Hamzah: Reformasi Perpajakan Lebih Penting dari Tax Amnesty
Kamis, 21 April 2016
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah saat memimpin Focus Group Discussion dengan tema 'Kebijakan Tax Amnesty dan Panama Papers' di Kawasan Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta (21/4)

Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengadakan diskusi kebijakan Tax Amnesty dan isu Panama Papers dengan Direktur Eksekutif Prakarsa & Koordinator Forum Pajak Berkeadilan Ah Maftuchan, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia - TII Dadang Trisasongko, Koordinator Publish What You Pay Indonesia Maryati Abdullah, Senior Advisor INFID Mikael B Hoelman, dan Komisi Anggaran Independen Setyo Budiantoro di Ruang Rapat Korkesra Gedung Nusantara 3, Kompleks Parlemen, Kamis, 21 April 2016.

"Mereka meanggap kisruh Tax Amnesty dan Panama Papers ini sangat serius dan penting untuk dikritisi dan diadakan debat terbuka," ujarnya.

Fahri mengerti bahwa negara sedang kekurangan uang karena turunnya harga komoditas dunia. Penurunan harga artinya penurunan pajak. Apalagi 75 persen pendapatan negara berasal dari pajak, dan 75 persen dari sana adalah pajak sumber daya alam,  emas, kayu, CPO, batubara, dan mineral lainnya. "Karena sangat mengandalkan harga komoditas dunia maka pendapatan negara kita merosot. Saya dengar bisa mencapai (Rp) 300 triliun," tuturnya.

Tapi, kata Fahri, negara tidak percaya diri untuk secara normal mampu mendapatkan uang sehingga mau menempuh cara tidak normal. "Tax Amnesty ini adalah cara tidak normal untuk mendapatkan uang cepat. Kalau kita membuka Tax Amnesty versus reformasi perpajakan dan reformasi pendapatan negara ini, kita membuka pintu bagi masuknya uang-uang dari luar yang kita tidak tahu seperti yang dari Panama Papers itu," ucap Fahri.

Karta Fahri, uang itu bersih atau kotor. Kotornya itu menimbulkan kerusakan terhadap sistem tubuh yang lain. "Uang haram itu kan seperti darah kotor yang di dalamnya semua penyakit ada. Nah, ini yang harus mendapatkan perdebatan yang serius dan pemerintah jangan diam-diam," katanya.

Menurut Fahri, lobi-lobi pemerintah di DPR juga tidak boleh diam-diam, tapi harus terbuka dibicarakan kepada publik. "Jokowi bisa menjadi presiden yang pertama yang merusak perekonomian Indonesia karena membuka pintu bagi uang-uang haram ini masuk. Jadi kita harus kritis soal ini," ujarnya,

Karenanya, Fahri mengatakan lebih setuju untuk pemerintah melakukan reformasi sistem supaya bisa memberi kepastian. Sebab kalau ada kepastian hukum, uang yang halal itu pasti lebih banyak dari uang yang haram. Kemudian, harus ada reformasi perpajakan. "Jangan seperti sekarang ini kita selalu kalah di Peradilan Pajak. Hakim pajak cuma 49 orang untuk menangani pendapatan dari pajak yang ribuan triliunan itu," tuturnya.

Yang seperti ini, kata Fahri, harusnya dikerjakan terlebih dulu sebelum  mengambil jalan pintas untuk membuka pintu bagi masuknya uang haram ke negara ini. Reformasi pajak lebih penting, termasuk bagaimana mengintensifkan pembayaran pajak, bagaimana supaya masyarakat semua bayar pajak. Menurut Fahri, sekarang ini banyak bisnis baru yang belum terjangkau pajak. "Dari laporan mereka tadi dikatakan mayoritas bisnis pertambangan tidak membayar pajak. Yang bayar pajak dari mereka itu pun curang-curang. Ada kegiatan untuk mentransfer pajak itu ke luar negeri, sehingga pajaknya berkurang-kurang. Nah, ini yang sebetulnya harus dikerjar. Bukan mengambil jalan pintas dengan Tax Amesty," kata Fahri.

Apalagi menurut Fahri, pemerintah juga belum tahu berapa besar yang bisa diperoeh dari Tax Amnesty ini. "Betul tidak dia bisa menutupi kekuarangan kita. Kalau menutup, betul gak ini baik buat kita. Yang jadi masalah adalah kita merusak sistem di dalam itu. Piutang pajak aja sampe mendekati (Rp) 30 triliun. Ini saja dikejar dengan memperbaiki sistem," ucapnya. (*)