Terkait dengan turunnya opini laporan keuangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Komisi VII DPR RI meminta penjelasan Menteri ESDM Ignatius Jonan dalam rapat kerja di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 22 November 2016. Beradasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester Pertama Tahun 2015 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), opini laporan keuangan Kementerian ESDM menurun dari Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) menjadi Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
“Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK, bahwa salah satu penyebabnya adalah pengendalian intran atas piutang PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) di Kementerian ESDM tidak memadai. Sehingga, terdapat kekurangan dan kelebihan penyediaan pada neraca, serta hasil konfirmasi atas intran tidak dapat dipakai untuk meyakini kewajaran nilai piutang,” kata Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu saat memimpin rapat kerja.
Selain itu, ujar Gus Irawan, ada kelebihan pembayaran proyek LPG mini plan Rp 11,49 milyar di Kementerian ESDM dan terdapat kekurangan PNBP sumber daya alam (SDA) dari wajib bayar pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Perjanjian Karya Pengusaha Batubara (PKP2B) atas iuran tetap tahun 2013 dan 2014 senilai Rp 339,90 miliar. “Ini memang dari sisi jumlah tidak terlalu material, tapi kemudian ini berkontribusi bagi menurunnya opini laporan keuangan Kementerian ESDM dari WTP menjadi WDP,” tuturnya.
Ia juga menjelaskan, masalah lain yang menjadi temuan adalah Menteri ESDM menetapkan harga jual eceran untuk JBT dan harga eceran untuk jenis BBM Khusus Penugasan 2015 tanpa menetapkan harga dasar. Hal ini mengakibatkan badan usaha penyalur menanggung kerugian dalam melaksanakan penugasan penyediaan dan pendistribusian JBKP jenis bensin dan ron 88. “Selain itu, pemerintah (Kementerian Keuangan) tidak dapat melakukan perhitungan selisih subsidi yang harus dibayarkan kepada badan usaha,” ucapnya.
Dalam rapat kerja yang juga dihadiri Wakil Menteri ESDM Archandra Tahar tersebut, Komisi VII DPR meminta penjelasan tentang komitmen pemerintah atas roadmap energi baru dan terbarukan, yaitu bagaimana mencapai energi mix di tahun-tahun ke depan, di mana peran energi baru dan terbarukan yang hanya 5 persen pada 2010 menjadi 23 persen pada 2025, serta berangsur menggantikan peran minyak yang pada 2010 mencapai 49 persen menjadi 25 persen pada 2025.
“Roadmap energi baru dan terbarukan sangat penting sebagai bagian dari upaya penyiapan sumber daya energi untuk menjamin infrastruktur energi nasional yang dapat menjadi tulang punggung industri agar percepatan pertumbuhan ekonomi bisa dilakukan,” kata Gus Irawan. (*)