Tempo.Co

FADLI ZON: POLITIK INKLUSIF SOLUSI MENGATASI KETIMPANGAN EKONOMI
Selasa, 04 April 2017
FADLI ZON: POLITIK INKLUSIF SOLUSI MENGATASI KETIMPANGAN EKONOMI

Sesudah memberikan pidato mengenai ketimpangan dalam posisi sebagai Presiden Global Organization of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC), Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon pada Senin petang, 3 April 2017 waktu setempat, kembali memberikan pidato di depan sidang umum Inter-Parliamentary Union (IPU) ke-136 di Dhaka, Bangladesh. Pidato yang disampaikan sebagai ketua delegasi parlemen Indonesia itu mempertajam perspektif agenda menghapus ketimpangan.

“Akhir Februari lalu OXFAM Indonesia dan INFID (International NGO Forum on Indonesia Development) merilis hasil penelitian bahwa Indonesia menjadi salah satu dari lima negara yang indeks ketimpangannya melonjak tajam dalam satu dekade terakhir, sesudah Malaysia, Cina, Filipina, dan Thailand. Laporan itu memperkuat laporan serupa yang telah dirilis Bank Dunia pada akhir 2015.”

Menurut Fadli, ketimpangan secara global juga terus memburuk. Satu persen orang terkaya di dunia memiliki kekayaan setara dengan kekayaan 99 persen penduduk dunia. Perang, konflik, dan instabilitas yang terjadi di sejumlah kawasan ikut berkontribusi mempersulit situasi tersebut. Dunia kelihatan menjadi makin tidak adil karena hal tersebut.

“Indonesia percaya, secara ekonomi masalah ketimpangan tidak bisa diatasi hanya dengan menciptakan lapangan kerja. Kita harus lebih spesifik mengupayakan tingkat upah yang layak di berbagai sektor untuk mengatasi masalah tersebut. Sesudah krisis 2008, misalnya, perekonomian memang kian didominasi industri keuangan, padahal sektor yang menampung angkatan kerja terbesar adalah manufaktur dan pertanian. Kesenjangan upah antar-sektor tersebut tidak boleh dibiarkan terus menganga,” kata Fadli.

Dia menjelaskan, secara nasional, isu ketimpangan sebenarnya merupakan panggilan untuk membangun sistem perpajakan yang adil, terutama melalui pajak progresif yang signifikan. Persis di situ diperlukan penyesuaian antara hukum perbankan dan perpajakan untuk memperkecil ruang gerak dan munculnya para pengemplang pajak. Sebab, pajak merupakan instrumen penting untuk melakukan redistribusi kemakmuran.

“Sementara itu, secara global kita harus menyambut baik perjanjian Automatic Exchange of Information (AEoI) yang akan berlaku pada 2018. Perjanjian tersebut merupakan sarana untuk membuka informasi perpajakan. Hanya dengan sistem pajak yang adil kita bisa memperkecil ketimpangan,” ujar Fadli.

Ke depan, menurut dia, pembangunan ekonomi harus semakin inklusif, tidak boleh hanya terjebak pada indikator pertumbuhan semata. Untuk menciptakan pembangunan inklusif tersebut, diperlukan mekanisme penyusunan kebijakan yang bersifat inklusif pula, agar kebijakan publik yang dihasilkan lebih demokratis dan inklusif.