Tempo.Co

Pemindahan Ibu Kota Negara Perlu Regulasi
Kamis, 13 April 2017
Pemindahan Ibu Kota Negara Perlu Regulasi

Memindahkan Ibu Kota Negara bukan sesederhana yang kita bayangkan. Diperlukan kalkulasi politik dan anggaran untuk melakukannya. “Kita jangan alergi memindahkan Ibu Kota Negara ataupun pusat pemerintahan. Tapi perlu dibuat perbandingan mengenai perhitungan biaya yang dikeluarkan kalau Ibu Kota tetap di Jakarta dengan kalau dipindah ke luar Jakarta. Termasuk konsekuensi-konsekuensinya,” ujar anggota Komisi II DPR RI Achmad Baidowi dalam acara “Dialektika Demokrasi” di ruang pers, Kompleks Senayan, Jakarta, Kamis, 13 April 2017.

Menurut dia, wacana pemindahan Ibu Kota Negara ke luar Jakarta harus dipikirkan dengan matang, khususnya terkait dengan sarana dan prasarananya. “Jadi, di tempat yang baru nanti, jangan sampai terulang lagi apa yang terjadi di Jakarta. Kita inginkan nanti tempat yang baru itu jangan lagi tempat yang rawan bencana. Persoalan-persoalan yang terjadi di Jakarta itu jangan sampai terjadi lagi. Misalnya transportasi publiknya harus diatur sedemikian rupa."

Namun, Baidowi mengingatkan, yang terpenting dilakukan adalah perubahan payung hukumnya, yaitu merevisi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007. Undang-undang ini menyatakan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. “Jadi, kalau kita mau memindahkan Ibu Kota Negara ataupun menggeser pusat pemerintahan, harus ada perubahan regulasi. Tidak cukup dengan Keppres,” ucapnya.

Hal senada ditegaskan anggota Komisi V, Nizar Zahro, yang juga menjadi narasumber di acara itu. Dia menilai, wacana pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta itu tidak logis. “Alasannya, kita harus ada pijakan hukum. Harus ada RUU yang disampaikan pemerintah ke DPR tentang pemindahan Ibu Kota Negara itu,” katanya.

Sampai sekarang, kata Nizar, RUU-nya belum diajukan ke Baleg. “Undang-undangnya saja belum diubah oleh pemerintah. Jadi, secara regulasi, sampai hari ini belum ada keputusan dari pemerintah.”

Dari filosofi ekonomi, menurut Nizar, pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta itu juga tidak bisa dilakukan. Mengambil contoh dari negara lain, untuk membangun Ibu Kota Negara dibutuhkan dana Rp 150 triliun. Anggaran di Kementerian PUPR saja hanya Rp 106 triliun. Jadi, kalau Ibu Kota Negara jadi dipindahkan dari Jakarta, opsinya ada dua, yaitu anggaran di Kementerian PUPR dihabiskan untuk membangun Ibu Kota dan meninggalkan 34 provinsi yang lain. “Itu kan tambah tidak logis lagi,” ucapnya.

Sedangkan anggota Komisi XI DPR RI, Johnny G. Plate, yang juga menjadi pembicara dalam acara ini, berpendapat lain. “Kita harus secara cermat melihat fakta-fakta yang terjadi di Jakarta dan memperhatikan dampak pertumbuhan dan perkembangannya. Jadi ini bukan soal perasaan, melainkan rasional. Jadi bicara Ibu Kota Negara itu harus bicara secara rasional,” katanya.

Apalagi, menurut Johnny, Ibu Kota Negara adalah pintu terdepan Indonesia. “Karena itu, sudah sepantasnya Ibu Kota Negara ditempatkan di tempat yang baik. Karena itu adalah wajah negara kita."

Dia setuju pemindahan Ibu Kota Negara itu harus dilihat dari sisi inefisiensinya. “Dari sisi itu, kita lihat dulu bagamana inefisiensinya Ibu Kota Negara selama ini. Dalam 10 tahun terakhir, inefisiensi di Ibu Kota ini ada berapa ribu triliun. Bandingkan dengan jika kita memindahkan Ibu Kota ke tempat lain. Kalau ternyata inefisensinya jauh lebih besar dengan pemindahan Ibu Kota itu, ya, itu rasional untuk dipindah,” tuturnya.

Ihwal regulasi, menurut Johnny, masih belum diperlukan karena pemindahan Ibu Kota Negara masih sebatas wacana. “Memindahkan Ibu Kota ini dalam tahap kajian. Jadi belum perlu mengubah undang-undang. Sebab, kalau nanti undang-undangnya langsung dibuat, itu sudah harus dilaksanakan, apa pun risikonya. Tapi, kalau nanti sudah sampai pada satu kesimpulan bahwa semua sudah terukur dan teruji, baru kita buat undang-undangnya dan kita siapkan bujet yang terukur untuk pemindahan itu,” tuturnya. (*)