Hasil pertemuan Tim Kunjungan Spesifik Komisi II DPR bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Perhutani, serta Wakil Bupati Karawang menyepakati adanya pelanggaran yang dilakukan PT Pertiwi Lestari sehingga ditetapkan sebagai status quo. Hal tersebut ditegaskan Ketua Tim Kunjungan Spesifik Komisi II Sareh Wiyono dan anggota tim, Arteria Dahlan, Senin, 17 April 2017, di Karawang.
“Dalam posisi itu, siapa pun tak boleh merasa memiliki tanah, siapa pun tak boleh menggunakan alat negara untuk mengusir rakyat dari lokasi itu,” ujar Arteria. Tim Komisi II secara khusus mengunjungi lokasi dan menggelar pertemuan dengan pihak-pihak terkait membahas persoalan sengketa tanah di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat, yang terus berkepanjangan dan mengakibatkan ratusan petani korban konflik lahan dengan PT Pertiwi Lestari harus terusir dari tempat tinggalnya.
Kesimpulan berikutnya, kata Arteria, DPR memerintahkan Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang membuka akses jalan seluas-luasnya dengan membongkar portal yang digunakan PT Pertiwi Lestari untuk menutup jalan.
“Selain itu, membuka kembali fasilitas sosial dan umum, baik pendidikan maupun kesehatan, bagi masyarakat sekitar. Sedangkan rumah-rumah warga yang sudah dihancurkan harus diusahakan dibangun secara sosial dengan melibatkan Pemerintah Kabupaten Karawang,” ucapnya. Arteria juga meminta Pemkab Karawang mendesak PT Pertiwi Lestari mengembalikan apa yang sudah menjadi hak-hak Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI).
Penyelesaian kasus tanah yang berlarut-larut ini akan diusahakan dalam masa persidangan ke-4 DPR dengan memanggil semua pihak, yakni Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemkab Karawang, Gubernur Jawa Barat, serta Kapolda Jawa Barat dan Pangdam untuk duduk bersama di DPR guna merumuskan solusi terbaik.
“Dalam forum nanti, Komisi II DPR meminta semua pihak bisa dilibatkan, termasuk pemilik PT Pertiwi Lestari. Perusahaan ini sudah jelas melanggar hukum dan nilai kemanusiaan sehingga kami minta apparat mengusut tuntas. Perlu diusut kembali bagaimana lahirnya HGU (hak guna usaha) diubah menjadi HGB (hak guna bangunan). Rakyat sudah hadir jauh sebelum aparat kehutanan, sebelum pemda, dan perusahaan-perusahaan (hadir) di lokasi ini,” katanya. (*)