Komisi X bersama pemerintah menyetujui Rancangan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan untuk disahkan di pembahasan tingkat II atau paripurna. Ketahanan dan investasi budaya menjadi semangat dalam pembahasan RUU ini. Jika ketahanan budaya kokoh, budaya akan terlindungi hingga berakhirnya peradaban.
Demikian dikatakan Wakil Ketua Komisi X DPR sekaligus Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Pemajuan Kebudayaan, Ferdiansyah, seusai pembahasan tingkat I di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 18 April 2017. Dalam rapat yang berlangsung hingga dinihari itu, hadir Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Pariwisata, serta perwakilan kementerian dan lembaga negara lain.
“Seperti kita ketahui, selama ini yang kita takutkan mengenai kebudayaan adalah infiltrasi budaya. Karena itu, dalam RUU disebutkan ketahanan budaya. Tentu, jika kita memiliki ketahanan budaya yang kuat, harapannya pada masa yang akan datang, bahkan hingga berakhirnya bangsa ini, ketahanan budaya kita akan kokoh,” ujarnya.
Selain itu, kata Ferdi, budaya jangan diartikan sebagai biaya, tapi investasi. Pasalnya, dengan adanya aktivitas melestarikan, pemeliharaan, dan berbagai aktivitas lain, hal tersebut merupakan upaya agar budaya menjadi daya tarik bangsa Indonesia.
“Termasuk juga budaya. Jangan diartikan sangat sempit. Etos kerja pun juga menjadi bagian dari budaya. Jadi hal apa pun dalam pembangunan nasional beraspek dari budaya. Akhirnya, kita menyimpulkan budaya menjadi haluan pembangunan nasional,” ucapnya.
Selain itu, dalam RUU ini diatur mengenai reward and punishment kepada pelaku kebudayaan, masyarakat, hingga korporasi, yang berkepentingan dengan kebudayaan. Reward yang diatur dan menjadi semangat dalam RUU ini bukan sebatas sertifikat semata, tapi juga suatu penghargaan yang lebih bermakna dan mempunyai arti untuk penggiat dan pelaku kebudayaan.
“Misalnya, kalau seseorang terbukti mengharumkan nama bangsa, ketika meninggal, memungkinkan dia dimakamkan di taman makam pahlawan (TMP) dan mendapat bintang perhargaan yang sesuai dengan prestasinya. Sehingga bisa dikategorikan layak dimakamkan di TMP. Hal ini dalam konteks kontribusi dan berprestasi luar biasa terhadap budaya. Sehingga, pemberian penghargaan ini tidak sembarangan,” tuturnya.
Sedangkan untuk punishment atau hukuman, Ferdi menjelaskan, hal itu akan ditujukan kepada setiap orang atau lembaga yang merusak, menghalangi, bahkan menghancurkan obyek pemajuan budaya. Punishment itu bisa berupa sanksi.
“Misalnya, hukuman kurungan lima tahun dan denda Rp 10 miliar. Jika yang melakukan adalah korporasi, punishment diberlakukan tiga kali lipat dibanding perorangan,” tutur politikus Fraksi Golkar itu.
Adapun untuk penganggaran dalam upaya pemajuan kebudayaan, Ferdi menuturkan adanya diversifikasi pencarian sumber dana. Sehingga anggaran tidak hanya melalui APBN, APBD, atau masyarakat, tapi juga sumber dana lain.
“Kita minta pemerintah membentuk dana wali amanah. Apalagi sudah ada Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2011 yang mengatur hal itu. Dengan demikian, sumber pendanaan yang selama ini secara konservatif atau normatif, ada dari dana wali amanah,” katanya.
Politikus asal daerah pemilihan Jawa Barat itu memastikan RUU ini mengatur kebudayaan secara umum dan longgar. Sehingga ketika RUU ini disahkan menjadi undang-undang, tidak terlalu rigid dan rinci serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi budaya di masing-masing daerah. Ia pun berharap RUU ini dapat disahkan pada paripurna 27 April 2017.
Mewakili pihak pemerintah, Menteri Kebudayaan dan Menteri Pariwisata menyambut baik pengesahan RUU ini di tingkat I. Seluruh fraksi pun menyetujui RUU ini untuk disahkan pada tingkat II. Rapat diakhiri dengan penandatangan draf RUU yang terbaru. (*)