Belum keluarnya peraturan pemerintah, yang menjadi petunjuk pelaksanaan (juklak) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Tahun 2003, disinyalir sebagai salah satu penyebab Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selalu memberikan penilaian ketidakpatuhan perundang-undangan terhadap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I (IHPS I) BPK di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada indikasi ketidakpatuhan peraturan perundangan berupa perjalanan dinas di Direktorat JenderalPAUD dan Dikmas sebesar Rp 1,55 miliar, yang berpotensi merugikan negara. Selain itu, terdapat kelebihan belanja barang yang belum dikembalikan sebesar Rp 1,25 miliar, realisasi belanja barang yang belum dipertanggungjawabkan senilai Rp 40,977 miliar, serta realisasi belanja barang di Ditjen Kebudayaan 2015 senilai Rp 11,210 miliar.
"Setelah saya pelajari, ternyata penyebab-penyebab itu tidak beranjak dari tahun ke tahun. Pertama, karena ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan. Kedua, koordinasi yang sangat mahal," ujar anggota Komisi X DPR, Popong Otje Djundjunan, saat rapat kerja dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di Ruang Rapat Komisi X, Selasa, 25 April 2017.
Selain itu, Popong menegaskan pembuatan peraturan pemerintah juga harus diiringi dengan pemantauan oleh Inspektorat Jenderal. "Ada peraturan pemerintah yang sangat penting dan sudah 14 tahun sejak Undang-Undang Sisdiknas disahkan pada 2003, yang hingga sekarang belum dibuat. Padahal itu untuk mengatur apa-apa yang sekarang sedang terjadi. Tugas kami bertanya kapan peraturan pemerintahnya keluar," ucapnya.
Akibatnya, kata Popong, pembagian tugas dan tanggung jawab atas penyediaan sarana dan prasarana jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat hingga kini masih belum diatur lebih lanjut karena peraturan pemerintahnya belum keluar.
Hal senada diutarakan anggota Komisi X lain, Ledia Hanifa. "Kita tahu bahwa permasalahan di IHPS BPK adalah berkaitan dengan adanya peraturan pemerintah, yang belum mengatur lebih lanjut tentang penyediaan sarana dan prasarana pendidikan," tuturnya.
Menurutnya, hal itu nanti akan sangat berkaitan dengan standar sarana dan prasarana yang akan ditetapkan. "Kalau kita melihat, undang-undangnya sudah ada sejak 2003. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dinyatakan, setidaknya dalam dua tahun, semua peraturan turunan dari sebuah perundangan-undangan harus sudah diselesaikan. Namun, dari 2003 hingga sekarang, belum diselesaikan," ujarnya.
Berarti, kata Ledia, ada kekosongan yang luar biasa lama dan itu menanggung risiko yang sangat besar. "Seharusnya, itu sudah bisa diselesaikan lebih awal dan Irjen juga harus lebih awal mengingatkan," katanya.
Sebab, menurut Ledia, nanti akan timbul risiko berikutnya ketika Menteri Dalam Negeri mengeluarkan struktur organisasi dan tata kerja (SOTK) baru 2017. SOTK baru itu berhubungan dengan pelimpahan wewenang kepada provinsi yang berkaitan dengan SMA. "Nah, ini akan menimbulkan permasalahan. Bisa jadi provinsinya menjadi inefisien karena akan menambah satgas-satgas baru dan sebagainya. Jadi, saya melihat, ketika tidak ada payung hukum yang lebih kuat untuk pelimpahan wewenangnya, pemindahan itu akan menimbulkan kericuhan," ucapnya.
"Nah, ini mau diapakan dan bagaimana. Pertanyaannya, hampir semua sama di daerah. Ketika selama ini sudah dianggarkan di kota/kabupaten untuk sarana dan prasarana, ditambah lagi untuk tunjangan guru SMA, misalnya, ketika ditarik ke provinsi, tapi provinsi belum menyiapkan keseluruhannya. Ditambah juga pendataannya yang masih sangat minim. Artinya, ini mestinya harus menjadi pelajaran besar untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang diamanatkan Undang-Undang Sisdiknas harus segera diselesaikan sebelum nantinya ada perubahan-perubahan sebagaimana yang terjadi pada saat ini," ujarnya (*)