Masyarakat yang tidak puas dengan Pasal 156a KUHP, yang dianggap pasal karet dan diskriminatif terkait dengan penodaan agama, disarankan mengajukan judicial review (uji materi) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, pada 2010 dan 2012, pasal itu masih ditetapkan sebagai pasal penodaan agama. Namun putusan MK itu bisa berubah jika masyarakat keberatan.
Hal tersebut disampaikan anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP, Arsul Sani, dalam forum legislasi “Penghapusan Pasal 156a UU KUHP, Pasal Karet?” bersama pakar hukum tata negara, Refly Harun, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa, 16 Mei 2017.
“Pada 2009, 2010 dan 2012, Pasal 156a KUHP sudah pernah digugat masyarakat sipil ke MK, dan pada 19 April 2010, MK mengeluarkan Keputusan Nomor 140 dengan menyatakan pasal itu tidak bertentangan dengan konstitusi. Karena itu, saya meminta norma pasal itu diperbaiki dan disempurnakan agar tidak menjadi pasal karet,” kata Sekjen DPP PPP itu.
Dengan begitu, kata Arsul, Pasal 156a sudah tidak ada masalah. Namun, kalau masyarakat menggugat ke MK, kemungkinan putusannya akan berbeda dengan putusan sebelumnya bisa terjadi. Ia mencontohkan hukuman mati di Amerika Serikat pada 1971 diputus inkonstitusional, tapi pada 1976 diputus konstitusional karena masyarakat menggugat. “Makanya, 28 negara bagian Amerika saat ini masih menerapkan hukuman mati dan 11 negara mengeksekusi mati,” tuturnya.
DPR dan pemerintah saat ini sedang membahas revisi Undang-Undang KUHP. Khusus Pasal 156a, ada dua kategori mengenai hal yang dimaksud dengan penghinaan agama. “Itu tergantung pada penafsiran hakim. Selain itu, pasal ini belum menjadi kesepakatan fraksi di DPR. Pada Pasal 348 hingga 353 Undang-Undang KUHP, fraksi meminta merumuskan perbuatan apa yang termasuk penghinaan agama agar hakim tidak subyektif dan diskriminatif,” ujarnya.
Hanya, Arsul menolak kalau pasal itu dihapus. Sebab, menurutnya, hukum itu berfungsi sebagai kendali sosial dan di negara-negara maju pun masih berlaku. “Masalah agama ini sensitif. Kalau tanpa hukum, masyarakat bisa main hakim sendiri sehingga akibatnya akan makin buruk,” ucapnya.
Adapun Refly Harun menegaskan bahwa Pasal 156a bukan kitab suci. Sehingga, kalau dinilai diskriminatif, seharusnya diperbaiki. Sebab, undang-undang yang baik untuk diterapkan adalah undang-undang yang perumusannya tidak multitafsir dan tidak diskriminatif. Kalau multitafsir, berarti undang-undang itu masih buruk dan bisa menimbulkan otoritarianisme mayoritas atas minoritas dan sebaliknya.
Pasal 156a lahir karena Presiden Sukarno waktu itu ingin mengakomodasi permintaan mayoritas kelompok beragama. Sedangkan dari sisi negara, kata Refly, negara harus melindungi semua warga negara. “Tak ada mayoritas ataupun minoritas. Jadi silakan masyarakat menggugat ke MK atas pasal 156a kalau dinilai diskriminatif,” katanya.
Menurut Refly, harus ada rumusan yang jelas dalam Pasal 156a karena ada dua kategori. Pertama, hatespeech (ujaran kebencian) yang sifatnya guyonan, bercanda, dan olok-olokan. Kedua, yang nyata-nyata melakukan perbuatan yang dilarang, seperti menginjak-injak kitab suci. “Jangan sampai ini terjadi di pilpres 2019 meski politik kita masih menghalalkan segala cara,” tuturnya. (*)