Tempo.Co

Revisi UU Pilkada Tidak Diskriminatif
Selasa, 26 April 2016
Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, fungsi pengawasan Bawaslu dan netralitas KPU sangat penting.

Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy mengatakan revisi Undang-Undang Pilkada Nomor 8 Tahun 2015 tidak diskriminatif.  Ketentuan ini memudahkan calon perseorangan atau independen, perwakilan partai politik, dan inkumben untuk maju sebagai calon kepala daerah. Kini revisi undang-undang ini menunggu persetujuan dari pemerintah dan diperkirakan selesai pada 29 Mei mendatang.

Setelah dikonsultasikan dengan Mahkamah Konstitusi (MK), agar tidak diskriminatif, para pejabat cukup berhenti dari jabatan pemimpinnya.

“Tetapi tetap sebagai anggota DPR,” tutur Lukman dalam forum legislasi Polemik Revisi UU Pilkada di gedung DPR, Selasa, 26 April 2016. Acara ini turut menghadirkan komisioner KPU, Juri Ardianto, dan pengamat politik dari Indonesia Public Institute, Karyono Wibowo.

Dalam kaitannya dengan money politics yang sering terjadi, hal itu dapat dikategorikan ke dalam pelanggaran administratif dan pidana. “Kalau administratif akan didiskualifikasi pencalonannya. Ini kewenangan Bawaslu dan KPU. Sedangkan kasus pidana diselesaikan di pengadilan,” katanya.

Karyono sependapat, seharusnya revisi UU Pilkada tidak diskriminatif. Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28, setiap warga negara punya hak yang sama. Soal  mundur atau tidaknya calon kepala daerah dari keanggotaannya di DPR, DPD, atau DPD dan DPRD, menurut Karyono, tidak fair jika peraturan ini tidak berlaku bagi inkumben yang sedang menjabat. “Padahal tujuan aturan ini untuk mencegah terjadinya abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan. Jadi, jika kewajiban mundur dari jabatan diatur, seharusnya hal itu berlaku bagi semua pejabat,” kata Karyono.

Jalannya fungsi pengawasan Bawaslu dan netralitas KPU saat pilkada sangat penting. Kedua lembaga penyelenggara pilkada harus menegakkan ketentuan perundang-undangan tanpa pandang bulu.

“Revisi undang-undang juga harus mengatur sanksi-sanksi bagi pasangan calon yang menggunakan kekuasaannya, misalnya diskualifikasi jika ada pelanggaran. Walaupun faktanya, hingga saat ini,  belum sesuai dengan harapan publik,” ujar Karyono.  .

Sementara itu, Juri Ardianto  mengatakan, dalam hal anggaran, hingga saat ini, belum ada keputusan dari pemerintah soal penggunaan APBN atau APBD sebagai sumber dana pelaksanaan pilkada. Padahal KPU telah mendorong agar pelaksanaannya bisa menggunakan APBD.

“Kewmenerian Dalam Negeri maunya dana hibah dari APBN, tapi Kementerian Keuangan tidak. Karenanya, belum ada titik temu. Padahal standarnya tidak harus sama antara daerah satu dan yang lain. Sebab, anggaran yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing,” ujar Juri. (*)