Tempo.Co

Potensi Rawan dan Tumpang Tindih Perppu 1 Tahun 2017
Selasa, 23 Mei 2017
Pemerintah juga harus berhati-hati saat bertukar informasi keuangan dengan negara lain.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan dikeluarkan Presiden Joko Widodo seiring dengan keterikatan Indonesia dengan perjanjian internasional bidang perpajakan untuk saling menukar informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information). Perjanjian internasional ini ditandatangani Presiden pada 8 Mei 2017.

Menanggapi hal ini, anggota Komisi XI DPR, Heri Gunawan, menilai ada potensi tumpang tindih dan sangat rawan penyelewengan. “Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945 menyebutkan dalam kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Apakah perjanjian internasional bisa dikualifikasi sebagai situasi genting yang memaksa?” ujarnya.

Dengan perppu tersebut, kata Heri, Direktur Jenderal Pajak berwenang mendapat akses informasi keuangan dari perbankan, pasar modal, perasuransian, dan lembaga jasa keuangan lain. “Kewenangan ini melabrak prinsip kerahasiaan bank sebagaimana Pasal 40 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menyebutkan setiap nasabah harus dilindungi kerahasiaan datanya oleh bank. Di sinilah tumpang tindih peraturan terjadi,” ucapnya.

Selain itu, peraturan lain yang ditabrak adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. “Dalam Pasal 34 ayat (1), disebutkan petugas pajak dilarang mengungkapkan kerahasiaan para wajib pajak, baik laporan keuangan, data yang diperoleh untuk pemeriksaan, maupun dokumen yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia. Perppu itu juga menabrak Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dalam Pasal 41, disebutkan bank wajib merahasiakan keterangan nasabah, simpanannya, dan investor beserta investasinya,” tuturnya.

Tak hanya itu, menurut Heri, tumpang tindih perppu ini merambah pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Pasal 96 undang-undang itu melarang memberi informasi orang dalam kepada pihak mana pun yang ingin menggunakan informasi. “Dari sini, bisa dilihat akan ada dilema yang besar bagi aparatur perbankan, pajak, dan pasar modal dalam menjalankan kebijakan pertukaran informasi tersebut. Ini akan menimbulkan ketidakpastian dan keraguan eksekusi akibat tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan,” katanya.

Meski begitu, Heri memahami semangat keterbukaan informasi perpajakan. “Satu sisi, butuh kerja sama internasional untuk menghindari tindakan penghindaran pajak (tax avoidance). Di sisi lain, pemerintah juga harus berhati-hati saat bertukar informasi keuangan dengan negara lain agar terhindar dari kepentingan yang justru merugikan kepentingan nasional kita,” ujar politikus dari daerah pemilihan Jawa Barat IV ini.