Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran kini sudah dalam tahap harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Memang dalam ketentuan di undang-undang bahwa pembahasan harmonisasi ini maksimal 20 hari. "Namun Baleg melihat ada hal-hal yang perlu digali lebih dalam dari para stakeholder," ujar Wakil Ketua Baleg Firman Soebagyo setelah menggelar rapat dengar pendapat dengan Direktur LPP TVRI dan RRI, di Ruang Rapat Baleg, Selasa, 23 Mei 2017.
Kata Soebagyo, ihwal penyiaran ini, terutama terkait dengan isu digitalisasi, bagi televisi itu memang sebuah keniscayaan. "Karena itu, kita harus hati-hati menyikapi digitalisasi ini. Kita juga harus memikirkan warga masyarakat yang ada di perdesaan yang masih menggunakan televisi monolog dan harus dikonversi ke digital menggunakan alat tambahan yang dibeli dengan harga yang tidak murah," katanya.
Karena itu, kata Soebagyo, kalau pemerintah tidak menyiapkan perangkat yang dibutuhkan terkait dengan televisi digital, itu akan mengganggu hak masyarakat mendapatkan informasi.
Isu kedua adalah terkait dengan penggunaan frekuensi single MOOCS dan multi-MOOCS. Menurut Soebagyo, ini juga harus hati-hati benar. Berdasarkan pengalaman, frekuensi dikuasai negara belum menjamin kesejahteraan masyarakat, terutama terkait sampai seberapa jauh ketersediaannya. Dia mencontohkan seperti yang terjadi di Malaysia, Singapura, dan hampir semua di negara-negara besar yang gagal saat menerapkan single MOOCS ini.
Soebagyo mengatakan pengertian dikuasai negara itu bukan berarti negara mengambil alih regulator, aktor, dan operatornya, tapi hanya sebatas regulasinya. "Itu harus dipahami. Kemudian, kita juga harus memperhatikan televisi swasta. Jangan sampai terganggu. Sebab, kalau terganggu, akan merusak investasinya," tuturnya.
"Jadi jangan sampai kita buat undang-undang ini secara emosional, sehingga tidak bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara." (*)