Komisi III DPR RI mempertanyakan peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Detasemen Khusus Antiteror 88 (Densus 88) terkait dengan ledakan bom bunuh diri yang terjadi di Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu malam, 24 Mei 2017. Menurut anggota Komisi III Wihadi Wiyanto (Fraksi Gerindra), melihat pola yang ada, bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu dan di Manchester sudah terjadwal.
“BNPT seharusnya sudah bisa mendeteksi. Saya mempertanyakan di sini Ketua BNPT yang baru, mana progresnya. Apa kerjanya, kok selama ini diam-diam saja. Tidak ada suatu hal yang dilakukan, mana program-programnya. Sedangkan BNPT itu mitra kita juga. Kita tidak melihat peran yang berarti dari BNPT,” kata politikus Partai Gerindra ini di sela-sela kunjungan spesifik Komisi III ke Kalimantan Selatan, Jumat, 26 Mei 2017.
Anggota Komisi III lainnya, Daeng Muhammad, mengatakan tidak ada satu agama pun yang memperbolehkan persoalan terorisme. Karena itu, ia mengecam hal tersebut. Daeng tidak mempersoalkan cepatnya reaksi dari kepolisian, tapi mempertanyakan bagaimana upaya kepolisian mencegah kasus radikalisme di Indonesia.
“Bukan persoalan bagaimana cepatnya reaksi kepolisian, bukan juga persoalan responsibilty kepolisian terhadap kasus-kasus terorisme, tapi bagaimana upaya pencegahan terhadap kasus-kasus radikalisme di Republik ini,” ucapnya.
Menurut dia, radikalisme muncul karena ketidakpuasan. Tujuan terorisme adalah menimbulkan ketakutan dan menginginkan negara ini akhirnya terpecah karena persoalan-persoalan seperti itu.
“Karena itu, upaya-upaya apa yang harus dilakukan para penegak hukum kita terutama kepolisian, yang bertanggung jawab secara undang-undang melakukan keamanan terhadap negara ini. Bagaimana respons terhadap pola pencegahan, pendekatan-pendekatan apa yang digunakan, secara spiritualisme-kah, kebudayaan-kah, sehingga mereka mampu memahami bagaimana polarisasi bernegara yang tidak perlu lagi dengan pola-pola seperti terorisme,” tutur Daeng. (*)