Rapat paripurna DPR RI menyetujui pembahasan lebih lanjut kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal RAPBN 2018 yang telah disampaikan pemerintah pada 20 Mei 2017. Persetujuan ini disampaikan 10 fraksi setelah menyampaikan pandangan mereka dalam rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah di gedung DPR RI, Selasa, 30 Mei 2017.
Pandangan Fraksi PDIP, yang disampaikan juru bicaranya, Adisatria Suryo Sulisto, memberi catatan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun depan harus sejalan dengan pengurangan kemiskinan, serta menyempitnya kesenjangan pendapatan dan kesenjangan antardaerah. Dari sisi penerimaan, Fraksi PDIP melihat lebih dari 85 persen penerimaan negara masih ditopang oleh penerimaan pajak. “Karena itu, kami meminta pelaksanaan tax amnesty harus mempunyai nilai tambah. Penegakan hukum perpajakan juga harus didukung regulasi yang ramah terhadap dunia usaha agar dapat melaksanakan kegiatannya dengan tenang,” ujarnya.
Terhadap belanja negara, Fraksi PDIP berharap pemerintah lebih memprioritaskan belanja negara yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan riil masyarakat. Belanja negara harus didorong untuk kegiatan di sektor produktif. Pengelolaan utang juga harus dilakukan lebih hati-hati. “Kami juga mengingatkan pemerintah agar gencarnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan saat ini harus memperhatikan dampak-dampak sosial dan lingkungan,” kata Adistaria.
Sedangkan Fraksi Partai Golkar melalui jurubicaranya Muhammad Sarmuji memandang perlunya menyusun APBN 2018 yang ekspansif dengan tidak mengesampingkan prinsip-prinsip kredibilitas dan kehati-hatian. Fraksi berharap postur APBN 2018 lebih difokuskan pada program-program pembangunan yang menciptakan multiplier effect bagi perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat. “Masalah kemiskinan dan kesenjangan antar-masyarakat dan antar-wilayah harus menjadi perhatian pemerintah ke depan,” ujarnya.
Fraksi Golkar juga mendorong pemerintah melakukan terobosan menciptakan pertumbuhan berkualitas yang dapat memberantas kemiskinan dan memperbaiki tingkat kesenjangan. “Sejalan dengan desentralisasi fiskal dan pemerataan pembangunan, kami mendorong pemerintah meningkatkan postur transfer daerah dan dana desa,” ucap Sarmuji.
Untuk meningkatkan penerimaan, selain optimalisasi sektor perpajakan, Fraksi Golkar meminta pemerintah menggali potensi-potensi penerimaan lain. Fraksi berharap postur anggaran tidak ditopang oleh pelebaran defisit, tapi penerimaan negara yang lebih tinggi. Fraksi Golkar melihat utang luar negeri Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami tren yang meningkat, tapi belum diikuti dengan pertumbuhan PDB secara profesional. Hal ini menunjukkan pengelolaan dan penggunaan utang belum efektif. “Karena itu, fraksi kami mendorong pemerintah meningkatkan kualitas belanja APBN, khususnya yang dibiayai oleh utang.”
Sedangkan Fraksi Partai Gerindra, melalui juru bicaranya, Wilgo Zainar, mengingatkan agar pertumbuhan sebesar 5,4-6,1 persen dalam RAPBN 2018 yang disampaikan pemerintah harus berimplikasi logis terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat, menurunnya angka pengangguran, serta mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.
Fraksi Gerindra juga menyoroti kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang terus terjadi tanpa sosialisasi ke masyarakat di tengah ekonomi yang belum membaik dan belum optimalnya pelayanan kelistrikan. “Kenaikan TDL ini sangat membebani masyarakat dan industri,” ujar Wilgo.
Selain itu, Fraksi Gerindra menegaskan tetap menolak pemberian PMN bagi BUMN karena akan menambah besar beban utang negara. Fraksi Gerindra juga meminta RAPBN 2018 didesain surplus, sehingga pemerintah perlu mengurangi beban utang di APBN secara berkala.
Dari sisi belanja, Fraksi Gerindra berpandangan, agresifnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah saat ini justru berisiko membahayakan masa depan Indonesia, karena dibiayai dengan utang luar negeri jangka pendek dan menengah. “Padahal pembangunan infrastruktur itu merupakan investasi jangka panjang,” ucap Wilgo.
Selain dari utang, kata Wilgo, sumber dana pembiayaan infrastruktur mengandalkan pembiayaan dari pemangkasan subsidi energi, pupuk, dan listrik. Fraksi Gerindra sangat tidak setuju adanya pemangkasan subsidi yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak. “Sebab, bagaimanapun, instrumen subsidi adalah yang sah dan halal, kebijakan fiskal yang berpihak kepada masyarakat luas," katanya. (*)