Tempo.Co

Totok Daryanto: RUU Migas Tak Boleh Molor Lagi
Selasa, 06 Juni 2017
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Minyak dan Gas Bumi (migas) pernah dimunculkan pada periode lalu, tapi tidak selesai.

Wakil Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Totok Daryanto menargetkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Minyak dan Gas Bumi (migas) tidak boleh molor lagi dan harus selesai pada periode akhir masa jabatan legislatif 2019. Hal ini diungkapkannya setelah rapat bersama antara Badan Legislasi (Baleg) dan pengusul undang-undang Komisi VII DPR RI. Rapat ini untuk mencari titik temu dalam mengharmonisasikan RUU ini dengan aturan yang sudah berlaku.

"Intinya bahwa Undang-Undang Migas ini harus selesai pada periode ini. Ini jelas. Ini harus menjadi komitmen kita. Karena, ini di periode lalu sudah pernah dimunculkan, tapi tidak selesai," ucap Totok di ruang rapat Baleg, Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin, 5 Juni 2017.

Rapat yang dipimpin Totok juga dihadiri segenap jajaran pimpinan Komisi VII DPR, Ketua Komisi VII Gus Irawan Pasaribu, Wakil Ketua Komisi VII Mulyadi dan Satya Widya Yudha, serta beberapa anggota Komisi VII. Yang menjadi perhatian bersama Baleg dan Komisi VII adalah RUU Migas, yang sedang dibahas jangan sampai menimbulkan masalah baru. “Jangan sampai undang-undang ini setelah disahkan oleh DPR dan pemerintah malah dibatalkan Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.

Saat rapat, kedua belah pihak menyoroti tentang perlu tidaknya pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) yang bertugas menjaga kedaulatan migas. Tapi, menurut Totok, BUK dalam RUU ini memiliki definisi yang rancu dengan RUU Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sedang digarap Komisi VI. Di satu sisi, ada yang mengharapkan BUK di bawah kendali Kementerian BUMN, namun di lain pihak ada yang berharap BUK bersifat lex specialis di luar dari kewenangan BUMN.

"Untuk menjaga kedaulatan migas kita dibentuk BUK, Badan Usaha Khusus, di mana itu punya definisi yang rancu dengan BUMN, yang juga menjadi RUU inisitif Komisi VI. BUK itu kan Badan Usaha Khusus yang tidak di bawah Menteri BUMN. Sedangkan, semua Badan Usaha Negara harus di bawah Menteri BUMN. Itu bisa juga kalau pemerintah setuju, karena kita pernah punya pertamina dulu itu lex specialis, tidak sama dengan BUMN lain. Tergantung kesepakatan DPR dengan pemerintah, jadi nanti ada komunikasi dengan pemerintah," ucapnya. (*)