Tempo.Co

Perlu Koordinasi dalam Pengalihan Kewenangan Pendidikan Menengah
Senin, 12 Juni 2017
Perlu Koordinasi dalam Pengalihan Kewenangan Pendidikan Menengah

Setelah penetapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mulai berlaku pada 2016, pengalihan kewenangan pengelolaan pendidikan menengah, sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK), dari kabupaten atau kota ke provinsi resmi diberlakukan. Pengalihan kewenangan SMA dan SMK ini memerlukan koordinasi intensif antara pemerintah kabupaten atau kota dan pemerintah provinsi.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sutan Adil Hendra saat memimpin tim kunjungan kerja spesifik Komisi X DPR ke Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur, Kamis, 8 Juni 2017. Tim kunjungan spesifik disambut langsung Bupati Bojonegoro Suyoto dan Wakil Bupati Lamongan Kartika Hidayati. Hadir juga perwakilan DPRD Kabupaten Bojonegoro serta perwakilan Dinas Pendidikan, baik dari Kota Surabaya maupun Jawa Timur.

“Dengan adanya pengambilalihan wewenang pendidikan menengah ini, kita mendapat gambaran bahwa ada permasalahan yang sungguh sangat mendasar, yakni soal pembiayaan dan tenaga pendidik. Sehingga perlu adanya koordinasi yang intensif,” ujarnya di sela-sela pertemuan.

Terkait dengan pembiayaan, kata Sutan, dengan adanya pengalihan kewenangan itu—sebelumnya berlandaskan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional—sebenarnya tidak ada kendala berarti. Bahkan banyak kabupaten atau kota yang mampu menyelenggarakan pendidikan menengah secara gratis.

Seiring dengan kebijakan pengalihan ini, politikus Fraksi Gerindra itu menilai perlu adanya keleluasaan atau regulasi sehingga kabupaten atau kota mempunyai kewenangan kembali untuk menganggarkan, terutama terhadap sekolah pendidikan menengah, yakni SMA dan SMK.

Kendala lain yang muncul adalah kabupaten atau kota tidak dapat lagi mengalokasikan dana untuk pendidikan menengah serta tidak dapat mewujudkan kurikulum muatan lokal yang memperhatikan kekhususan dan keragaman, termasuk masalah tenaga pendidik. “Seiring dengan hal itu, catatan-catatan ini kita segera koordinasikan dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada rapat kerja pekan depan. Mudah-mudahan catatan ini menjadi bahan dalam pengambilan kebijakan dan ada solusi terhadap hal itu,” ucap politikus asal daerah pemilihan Jambi itu.

Adapun Suyoto mengatakan pengalihan penanggung jawab pengelolaan pendidikan menengah dari kabupaten ke provinsi tidak mengubah komitmen Pemerintah Kabupaten Bojonegoro terkait dengan pelaksanaan pendidikan warganya. Sebab, sebagian besar siswa yang bersekolah di SMA/SMK/SLB adalah warga Bojonegoro. “Ini sebagai bagian dari Gerakan Ayo Sekolah, yang mewajibkan warga Bojonegoro menuntaskan pendidikan menengah atas, bahkan kami canangkan menjadi wajib belajar 14 tahun,” tuturnya.

Menurut Suyoto, hal yang menjadi tantangan dengan adanya kebijakan ini adalah perlunya usaha dan koordinasi yang tepat dalam mempertahankan mutu pendidikan dan kejujuran di semua SMA/SMK tersebut. Kemudian, potensi masalah pada pengelolaan yang terkait dengan aset, personel, pengelolaan dana bantuan operasional sekolah (BOS), dana alokasi khusus (DAK), serta dana alokasi umum (DAU), yang harus dapat dimonitor atau dikendalikan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur melalui unit pengelola teknis atau cabang Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur di Bojonegoro.

Kunjungan kerja ini diikuti juga oleh Anggota Komisi X DPR, di antaranya Ridwan Hisjam (Fraksi Golkar, dapil Jawa Timur), Popong Otje Djundjunan (F Golkar, dapil Jawa Barat), Arzeti Bilbina (Fraksi PKB, dapil Jawa Timur), Ledia Hanifa Amaliah (Fraksi PKS, dapil Jawa Barat), Laila Istiana (Fraksi PAN, dapil Jawa Tengah), dan Anang Hermansyah (Fraksi PAN, dapil Jawa Timur). (*)