Tempo.Co

UU Pemda Munculkan Sejumlah Masalah
Rabu, 14 Juni 2017
Pengalihan kewenangan pengelolaan pendidikan menengah dari pemerintah kabupaten atau kota ke pemerintah provinsi sangat berpengaruh kepada tunjangan yang diterima guru honorer.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mulai berlaku pada 2016, dinilai menimbulkan sejumlah permasalahan, khususnya pada pengaturan terkait dengan pengalihan kewenangan pengelolaan pendidikan menengah, yaitu SMA dan SMK, dari pemerintah kabupaten atau kota ke pemerintah provinsi.

Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ledia Hanifa Amaliah mengatakan salah satu pihak yang terkena imbas akibat diberlakukannya kebijakan ini adalah guru honorer. Menurutnya, pengalihan kewenangan itu sangat berpengaruh terhadap tunjangan yang diterima guru honorer. “Ada beberapa guru honorer yang menyampaikan kabupaten atau kota mereka memberikan tunjangan lumayan tinggi. Namun begitu kewenangan pendidikan menengah diambil provinsi, karena provinsi terpaksa memukul rata, jadi akhirnya tunjangannya turun,” katanya saat mengikuti kunjungan kerja spesifik Komisi X DPR ke Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, Kamis, 8 Juni 2017. Kunjungan spesifik ini dipimpin Wakil Ketua Komisi X DPR Sutan Adil Hendra dari Fraksi Gerindra daerah pemilihan Jambi.

Permasalahan berikutnya, kata Ledia, terkait dengan sekolah inklusi atau sekolah anak berkebutuhan khusus. Menurut Ledia, penanganan sekolah inklusi merupakan kewenangan pemerintah provinsi. Namun di satu sisi sekolah inklusi tingkat SD dan SMP merupakan kewenangan kabupaten atau kota. Karena itu, perlu adanya koordinasi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota terkait dengan keberlangsungan pendidikan anak didik berkebutuhan khusus, yang melanjutkan pendidikan dasar ke pendidikan menengah. Ledia mengkhawatirkan, dengan tanggung jawab besar ini, tugas utama pemerintah provinsi dalam menangani anak didik disabilitas menjadi terabaikan. “Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas tidak menginginkan ada anak didik putus sekolah. Mereka wajib bersekolah 12 tahun. Ini menimbulkan persoalan berikutnya jika koordinasinya tidak dituntaskan. Jadi sejumlah persoalan ini harus kita selesaikan bersama,” ucapnya.

Politikus Fraksi PKS itu mengakui, secara umum, kabupaten dan kota tidak terbebani dari sisi anggaran. Namun, bagi kabupaten atau kota yang telah mempunyai kebijakan untuk pendidikan dasar hingga menengah, hal ini bisa menjadi masalah tersendiri. “Sebab, belum tentu kebijakan provinsi untuk pendidikan menengah tidak inline dengan kebijakan pendidikan dasar kabupaten atau kota. Ini betul-betul harus disinergikan dan diselesaikan,” tuturnya.

Politikus asal dapil Jawa Barat itu menekankan langkah yang harus segera diambil adalah koordinasi serta perlu adanya kebijaksaan Menteri Dalam Negeri dalam konteks pembagian tugas antara kewenangan provinsi serta kewenangan kabupaten dan kota. (*)