Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Ridwan Hisjam, menegaskan perlu adanya terobosan dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. “Khususnya pada pengaturan terkait dengan pengalihan kewenangan pengelolaan pendidikan menengah, yaitu SMA dan SMK, dari pemerintah kabupaten atau kota ke pemerintah provinsi,” ujarnya saat kunjungan kerja spesifik Komisi X DPR ke Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, Kamis, 8 Juni 2017.
Dalam kunjungan yang dipimpin Wakil Ketua Komisi X DPR Sutan Adil Hendra itu, tim disambut langsung Bupati Bojonegoro Suyoto dan Wakil Bupati Lamongan Kartika Hidayati. Hadir juga perwakilan DPRD Kabupaten Bojonegoro serta perwakilan Dinas Pendidikan, baik dari Kota Surabaya maupun Jawa Timur.
Menurut Ridwan, regulasi yang mulai diberlakukan pada 2016 itu dinilai menimbulkan sejumlah permasalahan. Dari temuan di lapangan, Ridwan mengkhawatirkan pengalihan kewenangan menyebabkan kualitas anak didik menjadi turun mengingat minimnya anggaran yang dimiliki provinsi.
“Kami mendapatkan masukan dari Bupati Bojonegoro. Terobosan itu adalah kabupaten atau kota tetap dapat menggunakan anggaran untuk menyejahterakan warga dan meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya pendidikan menengah. Jadi bantuan diberikan bukan untuk sekolah, tapi untuk anak didik,” katanya.
Menurutnya, terobosan ini perlu mendapat regulasi atau kesepakatan antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Dalam Negeri agar diterapkan di seluruh Indonesia. “Mekanisme seperti ini tidak menyalahi regulasi dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Terobosan ini cukup baik dan akan disampaikan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,” tutur politikus asal daerah pemilihan Jawa Timur ini.
Suyoto menjelaskan, terkait dengan pengalihan kewenangan ini, pihaknya telah mengkoordinasikan setiap rencana dan pelaksanaan pendidikan dengan UPT Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur di Bojonegoro. Pihaknya juga menyediakan beasiswa (DAK pendidikan) bagi seluruh siswa menengah atas atau kejuruan untuk membantu pendidikannya.
“Cara yang kami lakukan adalah tidak memberikan bantuan kepada sekolah. Namun bantuan kami berikan kepada anak didik melalui pemerintah desa. Hal ini sudah kami lakukan selama tiga tahun. Murid itu kami berikan bantuan tidak melalui kartu,” ucapnya.
Karena itu, Suyoto mengatakan, tiga tahun lalu, pihaknya sudah membuat kebijakan bahwa setiap anak tingkat SMA dan SMK di Kabupaten Bojonegoro yang ingin bersekolah mendapat bantuan dari pemerintah kabupaten. Besarannya bervariasi, tergantung pada kemampuan orang tua.
“Sehingga ketika kewenangan SMA dan SMK diambil provinsi, kami tidak ada masalah terkait dengan isu pembiayaan. Yang penting anak-anak bisa bersekolah. Semangat otonomi daerah itu tidak dimaknai menjauhkan masyarakat dengan pemerintah, tapi baik pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten dan kota hadir melayani masyarakat,” ujarnya. (*)