“Faktanya, selama ini makanan yang mengandung boraks, formalin, rodamin, dan bahan berbahaya lain sudah beredar di pasar dan sudah dimakan masyarakat,” ujar anggota Komisi IX DPR, Marinus Gea, saat kunjungan spesifik ke Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Jumat, 9 Juni 2017. Menurutnya, ketika masyarakat sudah keracunan makanan, baru kemudian dicari sumber bahan makanan dan usaha penyembuhannya, tapi tidak dilakukan pencegahan.
Ketika melakukan inspeksi mendadak ke Pasar Mandalika, Lombok, NTB, tim kunjungan spesifik Komisi IX DPR menemukan plecing (makanan khas NTB) yang tempat penyimpanannya kurang bersih. “Salah satu syarat halal adalah higienis. Artinya, ketika tidak higienis, berarti makanan itu tidak halal,” katanya. Menurutnya, makanan-makanan seperti ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan jangan sampai dikonsumsi masyarakat. “Harus ada pengesahan dari dinas-dinas terkait dengan menerbitkan perizinan PIRT (pangan industri rumah tangga), kemudian ada ML, MD, dan sebagainya. Ini yang tidak terdapat di pasar-pasar,” tuturnya.
Untuk meminimalisasi peredaran bahan makanan tidak higienis dan berbahaya, kata dia, pemerintah harus memikirkan cara tercepat untuk mendeteksi makanan-makanan yang beredar di pasar. “Sebelum beredar, sebaiknya ada suatu alat deteksi cepat yang bisa mengidentifikasi bahan makanan berbahaya, seperti boraks. Tadi kita lihat kerupuk yang beredar mengandung boraks, yang digunakan untuk pengeras. Ini yang menjadi PR (pekerjaan rumah) kita dan pemerintah,” ujarnya.
Adapun di Pasar Mandalika, terdapat mobil laboratorium khusus untuk mengawasi bahan makanan di pasar. Namun, menurut Marinus, hal tersebut belum efisien. “Sebaiknya, di setiap pasar dibuatkan satu pos atau tempat khusus untuk pengecekan makanan yang masuk ke pasar. Kemudian ada cap dari BBPOM bahwa produk itu layak atau tidak layak jual. Terutama di hari-hari besar menjelang hari raya, saat permintaan bahan makanan dari masyarakat cukup tinggi,” ucapnya. (*)