Tempo.Co

Komisi V: Hampir Tak Ada Celah Penyebab Kecelakaan
Jumat, 07 Juli 2017
Kami punya dugaan bahwa penerbangan pada waktu sore, di mana kondisi cuaca ekstrem dan tidak diidentifikasi sebelumnya, menyebabkan jatuhnya helikopter itu.

Wakil Ketua Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat (DRP) Michael Wattimena menilai tak ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan kecelakaan helikopter milik Badan SAR Nasional (Basarnas) di Temanggung, Jawa Tengah, Minggu, 2 Juli 2017. Menurutnya, cuaca, sumber daya manusia, dan kondisi helikopter dalam kondisi yang sempurna.

“Kami melihat hampir tidak ada celah yang menyebabkan kecelakaan helikopter itu. Semuanya memiliki kesempurnaan dalam pelaksanaan untuk penerbangan helikopter,” katanya di sela-sela kunjungan kerja spesifik Komisi V DPR ke kantor SAR Semarang, Jawa Tengah, Selasa, 4 Juli 2017.

Dalam kunjungan yang dipimpin Ketua Komisi V DPR Fary Djemi Francis itu, Komisi Perhubungan ingin menggali informasi mengenai kecelakaan helikopter Basarnas. Pertemuan itu dihadiri Basarnas, AirNav Indonesia cabang Semarang, serta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Selain itu, Michael menilai helikopter dalam kondisi baik. Pasalnya, helikopter ini masih relatif sangat baru karena baru digunakan pada 2015. Bahkan belum mencapai 600 jam terbang selama digunakan Basarnas. Termasuk dari sisi SDM, kata dia, tidak terlihat hal-hal yang akan mengganggu pelaksanaan penerbangan helikopter itu.

“Dari sisi cuaca juga sangat mendukung. Sebab, menurut laporan BMKG, tidak ada sebuah kecenderungan terhadap cuaca ekstrem yang berpotensi menggangu penerbangan helikopter tersebut. Termasuk adanya semacam pemberian izin untuk melakukan penerbangan ke Dieng,” ujarnya.

Namun politikus Fraksi Partai Demokrat itu tak memungkiri cuaca di daerah pegunungan memang tak bisa diprediksi. Sehingga hal ini harus diwaspadai pesawat-pesawat yang melewati jalur pegunungan. Apalagi daerah Dieng memang kawasan pegunungan.

“Kami melihat jalur penerbangan ke Dieng, untuk penerbangan ke daerah pegunungan ini, memang memiliki kondisi ekstrem, salah satunya cuaca. Terkadang bisa juga tiba-tiba muncul cuaca yang tidak bisa diidentifikasi dan diprediksi sebelumnya. Inilah yang menjadi fenomena manakala kalau terjadi penerbangan ke wilayah pegunungan,” ucapnya.

Michael mencontohkan daerah pemilihannya, Papua Barat. Penerbangan ke daerah yang didominasi pegunungan dan perbukitan itu mayoritas dilakukan sebelum pukul 12 siang.

“Di atas itu, risikonya sangat tinggi. Sehingga, kalau penerbangan untuk wilayah pegunungan, kami menyarankan AirNav tidak memudahkan izin penerbangan, khususnya bagi helikopter dan pesawat berbadan kecil. Sebab, cuaca ekstrem di wilayah pegunungan itu bisa memunculkan berbagai potensi kecelakaan,” tuturnya.

Kendati Komite Nasional Keselamatan Transportasi belum menyelesaikan hasil investigasinya, Michael menduga helikopter itu mengalami kecelakaan karena kondisi cuaca. Apalagi helikopter itu terbang pada sore hari sehingga cuaca sulit diprediksi.

Kami punya dugaan bahwa penerbangan pada waktu sore, di mana kondisi cuaca ekstrem dan tidak diidentifikasi sebelumnya, menyebabkan jatuhnya helikopter itu,” kata politikus asal dapil Papua Barat itu.

Agar hal ini tidak terjadi lagi, Michael dan Komisi yang dipimpinnya, berkomitmen meningkatkan anggaran yang terkait dengan program keamanan dan keselamatan penerbangan. Sehingga kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dapat diminimalisasi.