Tempo.Co

Banyak Hakim Takut Putuskan Perkara Korupsi KPK
Jumat, 07 Juli 2017
Sebab, kalau berbeda dengan KPK, mereka akan berhadapan dengan publik.

Ketua Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-Undang KUHP dan KUHAP Benny Kabur Harman mengatakan banyak hakim yang menangani kasus korupsi, yang diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), merasa takut dengan keputusan yang dibuat. Apalagi keputusan tersebut berbeda dengan tuntutan KPK.

"Banyak hakim yang cerita ke saya, mereka takut memutuskan perkara yang berbeda dengan tuntutan KPK. Sebab, kalau berbeda dengan KPK, mereka akan berhadapan dengan publik," katanya dalam diskusi Quo Vadis RUU KUHP dan KUHAP di Function Room lantai 2, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 06 Juli 2017.

Padahal, kata Benny, hakim tersebut mengaku banyak kasus korupsi yang tidak mempunyai bukti kuat, yang seharusnya tidak dapat dihukum. "Karena takut berbeda, nanti kalau diputus bebas, dikira kongkalikong dengan tersangka korupsi," ujarnya.

Karena itu, melalui revisi Undang-Undang KUHP dan KUHAP, diharapkan pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan lebih adil. Pasalnya, kasus korupsi saat ini bukan lagi kejahatan ekstra ordinary crime, tapi sudah menjadi ordinary crime.

"Sudah berlalu korupsi menjadi ekstra ordinary, tapi sudah menjadi ordinary crime, kejahatan yang biasa ini. Sudah umum, banyak," ucapnya.

Dalam kesempatan yang sama, pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa, mengatakan lembaga penegak hukum, seperti KPK, tidak boleh sembarangan menyebut nama seseorang dalam dakwaan di persidangan.

"Sebagai pelaku pidana, tersangka ataupun terdakwa, akan menjadi masalah ketika ada pihak belum dinyatakan posisinya, apakah itu saksi, korban, atau tersangka, tapi namanya dimasukkan dalam surat dakwaan. Itu menjadi masalah di hukum pidana, jelas melampaui presumption of innocent berlaku sebelum putusan hakim," tuturnya.

Jika hal itu diabaikan, kata Eva, ada pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dilakukan. Sedangkan belum tentu seseorang terbukti terlibat.

"Pelanggaran HAM karena asas praduga tak bersalah. Coba bayangkan orang dituduh sesuatu dan itu kan menjadi image. Jadi beban dia dalam kehidupan sosial sehari-hari. Katakanlah KPK kasusnya semua orang tahu ada orang yang disebutkan juga namanya, tapi tidak jelas statusnya. Ketika anaknya sekolah, ‘Eh bapakmu koruptor.’ Jika itu tidak pernah terbukti, kan itu melekat terus. Apa yang terjadi? Anaknya frustasi. ‘Papa, saya malu sekolah.’ Sanksi sosial. Jadi, bagi saya, masalah ini bukan nama besar, tapi masalah bagaimana etika penegak hukum," ujarnya.