Tempo.Co

Fasilitas Lapas Kelas II A Manado Tidak Manusiawi
Selasa, 03 Mei 2016
Lapas Kelas II A Manado sudah overcapacity. Seyogyanya ditempati 400 warga binaan, tetapi saat ini dihuni 600 orang.

Wakil Ketua Komisi III DPR Trimediya Panjaitan menilai fasilitas Lapas Kelas II A Manado tidak manusiawi. Pasalnya, Ia menemukan adanya satu blok tahanan terpidana narkoba yang  tidak memiliki kloset di dalam sel penjara.

“Saya melihat blok tersebut sudah tidak manusiawi. Bahkan, menurut saya hal ini sudah melanggar HAM. Ketika malam hari sel penjara dikunci, akibatnya kalau mau buang air kecil mesti dengan botol kemasan, jika buang air besar menggunakan  plastik. Selain tidak layak, hal ini sudah pasti menimbulkan penyakit buat narapidana lain,” kata Trimediya saat memimpin kunjungan kerja Komisi III DPR ke Lapas Kelas II A di Manado, Sulawesi Utara, Senin, 2 Mei 2016.

Ditambahkannya, ada salah satu ruangan yang dilewati agak bau, dan menurut kepala lapas, sanitasi dan drainasenya bermasalah. Selain itu, kata Trimediya, Lapas Kelas II A Manado ini juga sudah overcapacity. Seyogyanya ditempati  400 warga binaan, tetapi saat ini dihuni 600 orang. Menurut dia, kelebihan kapasitas lapas ini diakibatkan berlakunya PP 99 tahun 2012.

“ Kami sudah berdialog dengan Kakanwil Hukum dan HAM terhadap usulan renovasi lapas ini. Kami akan perjuangkan anggarannya minimal pada APBNP 2016 dan maksimal di tahun 2017. Tapi saya pikir kalau dana yang diperlukan tidak terlalu besar secepatnya bisa segera direalisasikan,” ujar Trimedya.

Kakanwil  Sulut Sudirman Dahuri mengatakan telah berupaya mengusulkan anggaran perbaikan terhadap beberapa gedung  atau bangunan di lapas ini ke Sekretariat Jenderal Kemenkumham dan Dirjen Pemasyarakatan pada tahun 2015 lalu. Namun hingga tahun 2016 ini, usulan tersebut belum terealisasi. “Yang ada, anggaran perawatan gedung lapas menjadi terbatas,” katanya.

Pada kunjungan kerja ke lapas ini hadir juga Anggota Komisi III DPR lainnya seperti Ichsan Soelistio, Yayat Yulmaryatmo Biaro, Wenny Warouw, Ruhut Poltak Sitompul,  dan Anarulita Muchtar.  (*)