Persatuan Istri Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (PIA DPR) memperingati Hari anak indonesia yang jatuh setiap 23 Juli dengan perayaan bertema “Tersenyumlah Anak Indonesia, Tersenyumlah Indonesiaku". Ketua Umum PIA DPR Deisti A. Novanto mengatakan tujuan penyelenggaraan acara ini adalah mengembalikan senyum anak Indonesia yang belakangan sedikit memudar akibat kekerasan, baik fisik, verbal, maupun non-verbal, bahkan pelecehan seksual.
“Peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap anak itu tentu sangat memprihatinkan. Tidak hanya karena terenggutnya hak anak, melainkan juga hilangnya keceriaan anak, yang notabene merupakan generasi penerus bangsa, harapan bangsa. Kami mencoba mengembalikan senyum anak-anak Indonesia. PIA turut mendukung lahirnya generasi emas,” ujarnya di Gedung Nusantara IV, Senayan Jakarta, Rabu, 26 Juli 2017.
Acara juga dihadiri Wakil Ketua PIA DPR Grace Fadli Zon dan anggota lain. Selain itu, hadir pula Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait; anggota DPR, Eva Sundari dan Tuti Roosdiono; dan psikolog anak, Roslina Verauli. Selain itu, acara ini mengundang anak-anak Indonesia dari Panti Sosial Anak Putra Utama I, perwakilan siswa-siswi SD Al Ikhlas, SD St Theresia, dan anak-anak berkebutuhan khusus binaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Sebagai bentuk komitmen dalam memberikan ruang penyaluran minat dan kreativitas serta perlindungan terhadap hak-hak anak, PIA DPR menandatangani nota kesepahaman atau MOU dengan Komnas PA. “Dengan MOU ini, PIA DPR secara tidak langsung menjadi duta perlindungan hak anak yang akan dibawa ke daerah pemilihan masing-masing,” kata Deisti. Lebih lanjut, ia berharap DPR segera mengesahkan undang-undang anti-kekerasan terhadap anak dan perempuan agar bisa lebih memberikan perlindungan terhadap anak secara utuh.
Arist Merdeka Sirait menuturkan, saat ini, Indonesia sudah masuk pada level darurat kekerasan anak. Kekerasan itu seolah-olah menjadi sebuah candaan, bukan lagi tindak pidana atau kejahatan. Kalau itu terjadi, kekerasan terhadap anak akan terus terjadi.
“Di sinilah diperlukan peran keluarga. Keluarga menjadi benteng untuk melindungi anak dari tindak kekerasan, baik di dalam maupun luar rumah. Sayangnya, belakangan hubungan anak dan orang tua semakin renggang, yang akhirnya pendidikan untuk anak juga berkurang. Hal itu salah satunya disebabkan perkembangan gadget. Orang tua lebih mengutamakan gadget dibanding komunikasi dengan anak,” ucapnya. Padahal, menurut Arist, komunikasi orang tua dengan anak sangat penting untuk menanamkan pendidikan sekaligus benteng pertahanan anak dari berbagai paham radikalisme, intoleransi, dan tindak kekerasan. (*)