Tempo.Co

DPR Pertanyakan Kinerja Makro Ekonomi Pemerintah
Selasa, 15 Agustus 2017
Untuk membaca tingkat kesejahteraan rakyat yang lebih konkret, diperlukan ragam indikator baru.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah menyampaikan penilaian atas capaian pemerintah yang dianggap selalu mengandalkan data makro sebagai rujukan capaian pembangunan. Menurut dia, pemerintah tidak mampu membaca dinamika ekonomi rumah tangga atau individu secara keseluruhan.

Hal itu dibuktikan dengan masih mudah ditemukannya kemiskinan di berbagai daerah terpencil di Indonesia. Karena itu, Fahri mengatakan ragam indikator baru untuk membaca tingkat kesejahteraan rakyat yang lebih konkret sangat diperlukan. “Kami sedang menyusun atau membangun indikator kesejahteraan rakyat yang lebih konkret. Selama dua tahun, kita sedang diskusi dalam menyusun kerangka. Seiring berjalan waktu, banyak yang di-update,” ujarnya dalam acara coffee morning dengan tema "Menurunnya Daya Beli Masyarakat" di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 14 Agustus 2017.

Menurut Fahri, pertumbuhan ekonomi 5,01 persen pada kuartal kedua 2017 tidak sejalan dengan tingkat daya beli masyarakat yang menurun. Karena itu, Fahri menyebut ada satu anomali yang terjadi dalam konsumsi masyarakat. "Hari ini, kita menemukan satu persoalan yang tengah ramai diperdebatkan, yaitu soal menurunnya daya beli yang dibandingkan dengan angka makro," ucapnya.

Hal senada disampaikan Wakil Ketua Komisi IX, Saleh P. Daulay, yang turut serta dalam kegiatan tersebut. Dia mengemukakan, usai berkeliling ke daerah pemilihannya, kemiskinan masih sangat mudah ditemukan.

Dia menilai alokasi dana dari pusat ke daerah tidak mampu menciptakan kesejahteraan dan daya beli baru. Sehingga hal itu menjadi pertanyaan besar tentang sistem kerja pemerintah. “Uang sudah banyak habis, tapi kok tingkat pendapatan rendah. Dana desa Rp 800 juta tidak menciptakan lapangan kerja baru. Ini tidak menciptakan kesejahteraan yang menciptakan daya beli baru,” ucapnya.

Meskipun pemerintah kerap merilis optimisme kinerja makro ekonomi, hal itu tampaknya tidak berdampak banyak terhadap fakta lapangan, yang menurut kacamata mikro kemiskinan sangat mudah dijumpai di pelosok daerah. Karena itu, Fahri berkomitmen ingin membuat sebuah metode penghitungan kesejahteraan untuk masyarakat yang lebih konkret dengan melihat kenyataan riil. “Kita sedang memotret kenapa kinerja makro sering gagal membaca dinamika rumah tangga atau individu masyarakat kita. Nah, kita fokus pada penurunan daya beli,” katanya. (*)