Dalam kunjungan kerja di embarkasi Sudiang, Makassar, Panitia Kerja Kesehatan Haji Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menemukan adanya pro-kontra. Hal ini terkait dengan rencana keberangkatan calon jemaah haji pria penderita sakit gagal ginjal asal Maluku Utara di embarkasi Makassar. Pria ini termasuk calon jemaah haji berisiko tinggi atau risti.
“Tadi dipaparkan ada sebuah kasus calon jemaah haji yang beresiko tinggi, yakni penderita gagal ginjal berusia 49 tahun asal Maluku yang menempuh berbagai cara (sampai Ombudsman) untuk tetap bisa berangkat ibadah haji ke Tanah Suci,” ujar Wakil Ketua Komisi IX DPR Syamsul Bachri sekaligus ketua tim kunjungan Panja Kesehatan Haji Komisi IX ke Makassar, Senin, 21 Agustus 2017.
Panja melihat adanya dualisme keputusan pemerintah dalam menangani kasus tersebut. Dinas Kesehatan Haji dari Kementerian Kesehatan merujuk kepada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2016 yang menyebutkan penderita sakit gagal ginjal termasuk salah satu calon jemaah haji penyakit risti yang tidak bisa diberangkatkan ke Tanah Suci. Sebab, penderita harus menjalani cuci darah setiap tiga hari sekali setiap minggu.
Sedangkan panitia perjalanan ibadah haji dari Kementerian Agama tetap merekomendasikan calon jemaah haji risti ini tetap bisa diberangkatkan dengan alasan kemanusiaan. Pasalnya, saat pendaftaran haji, pria tersebut belum terkena penyakit tersebut. Selain itu, ia sudah menunggu antrean daftar tunggu haji hingga bertahun-tahun. Sehingga sangat tidak manusiawi jika pemerintah tidak membolehkannya ketika kesempatan itu datang.
Terkait dengan penyakit yang diderita calon jemaah haji tersebut, Kementerian Agama meyakini usia seseorang ada di tangan Ilahi. Pihak keluarga dan calon jemaah haji yang bersangkutan pun sudah membuat surat pernyataan tidak akan menuntut apa-apa kepada Panitia Penyelenggara Ibadah Haji jika terjadi hal terburuk kepada calon jemaah haji risti tersebut. Hingga kini, calon jemaah haji itu masih berupaya dengan berbagai cara untuk tetap bisa diberangkatkan beribadah haji ke Tanah Suci.
"Dualisme keputusan itu sebenarnya tidak boleh terjadi. Pemerintah, baik dinas kesehatan maupun panitia perjalanan ibadah haji Kementerian Agama, harus satu suara terkait dengan kasus seperti ini. Karena itu, ke depan kami akan kembali membahas hal ini dengan pemerintah pusat mengenai batasan-batasan dan perkecualian sebuah kasus calon jemaah haji risti. Jangan sampai pemerintah daerah atau Panitia Perjalanan Ibadah Haji di daerah mengalami kebingungan. Dalam hal ini, pemerintah harus satu suara,” tutur Syamsul.
Hal tersebut pun diamini seluruh tim delegasi Panja Kesehatan Haji Komisi IX DPR yang ikut mengunjungi embarkasi Sudiang, Makassar, seperti Elva Hartati, Anshory Siregar, Ayub Khan, Marwan Dasopang, Alya Mustika Ilham, Irgan Chairul Mahfiz, Sri Wulan, dan Frans Agung Mula Putra. (*)