Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018 yang disusun pemerintah dinilai tidak realistis di tengah ketidakpastian global. Kondisi ini perlu menjadi pertimbangan pemerintah agar memperhatikan faktor-faktor yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Hal ini diungkapkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, saat menyampaikan pandangan umum Fraksi Gerindra menanggapi Pokok-pokok Pikiran RAPBN 2018 di rapat paripurna DPR, Kamis, 24 Agustus 2017.
“Fraksi Gerindra menilai RUU APBN 2018 masih jauh dari harapan untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat dan kesenjangan nasional. Target penerimaan tidak realistis, perpajakan direvisi berulang-ulang, namun tetap tidak tercapai,” katanya.
Rahayu menjelaskan, asumsi dasar makro ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi diproyeksikan 5,4 persen lebih tinggi dari tahun ini, 5,2 persen. Laju inflasi diproyeksikan 3,5 persen lebih rendah dari tahun ini, 4,3 persen. Sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada tahun depan diproyeksikan Rp 13.500 melemah dibanding tahun ini, Rp 13.400.
Menurut Rahayu, diperlukan pertumbuhan ekonomi sebesar tujuh persen untuk menyediakan lapangan kerja yang memadai serta mampu menyelesaikan perekonomian. “Program-program terlalu tinggi, penerimaan perpajakan Rp 1.609,4 triliun sulit dicapai. Kami perkirakan shortfall Rp 100 triliun pada tahun depan,” ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan pendapatan negara dalam RAPBN 2018 diproyeksikan sebesar Rp 1.878,4 triliun lebih besar dari APBN-P 2017, Rp 1.736 triliun. Selain itu, penerimaan perpajakan Rp 1.609,4 triliun lebih tinggi dari tahun ini, Rp 1.472,7 triliun. (*)