Dalam melaksanakan tugasnya, Tim Pengawas Persiapan Ibadah Haji Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih menemukan sejumlah masalah dalam pelaksanaan haji tahun ini. Pemondokan dan katering menjadi catatan penting tim pengawas. Hal ini dijelaskan Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang memimpin tim pengawas di Arab Saudi, Kamis, 24 Agustus 2017.
Fadli memaparkan pemondokan di Madinah masih terlalu jauh lokasinya, yakni 1,2 kilometer. Hal itu menyulitkan akses bagi jemaah bila ingin bepergian atau beribadah ke pusat Kota Madinah. Ketika tim pengawas meninjau pemondokan itu, ternyata masih kurang layak bagi jemaah haji Indonesia.
Sedangkan, untuk katering, tim pengawas menemukan makanan basi dari perusahaan katering yang ditunjuk di Arab Saudi. Akhirnya, makanan basi tersebut ditarik dan diganti dengan yang baru. Akibatnya, jemaah haji Indonesia telat makan malam. Tim pengawas juga sempat meninjau perusahaan katering penyuplai makanan itu.
“Kondisi perusahaannya kurang layak. Seharusnya perusahaan ini tidak diberikan deal yang besar. Perusahaan ternyata masih baru, tidak besar, juga kurang profesional. Kalau terjadi lagi menyuplai makanan basi, sebaiknya perusahaan ini di-black list saja,”katanya dalam konferensi pers di Media Center DPR.
Secara umum, menurut Fadli, pelayanan haji tahun ini sudah meningkat. Hanya perlu memperbaiki sisi kekurangan yang masih menjadi sorotan. Catatan lain adalah tenaga medis dirasa masih kurang. Lalu, di Mekkah ternyata ada praktik rentenir. Ada living cost yang diberikan ke jemaah sebesar 1500 real dengan pecahan 500 real. Bila jemaah ingin memecah uang 500 real, dipotong 80 real. Pada bagian lain, Fadli menyampaikan tahun ini adalah tahun transisi penyelenggaraan haji. Tahun depan, penyelenggaraan haji sepenuhnya dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
“Masih ada kelemahan perencanaan. Misalnya, maktab yang jauh. Paling jauh adalah pada hari jelang haji atau muthawaf ifadhoh, yakni jemputan sudah dihentikan,” ujar Pimpinan Komisi VIII Sodik Mujahid yang hadir dalam konferensi itu.
Sedangkan Pimpinan Komisi VII lainnya Iskan Qolba Lubis melihat daya tawar penyelenggaraan ibadah haji Indonesia sangat lemah. Kalah dalam bernegosiasi dengan negara lain. “Jemaah haji kita paling besar, tapi ternyata daya tawar paling lemah. Ini harus dianalisa,” tuturnya.
Sebagai contoh, kata Iskan, berdasarkan kesepakatan Kementerian Agama dan Komisi VIII DPR, jemaah Indonesia 100 persen harus berada di markaziyah atau ring 1. “Namun, tiba-tiba digeser begitu saja oleh jemaah Iran. Akhirnya, ada 18 persen tidak masuk ring satu. Akibatnya, jemaah Indonesia mendapat fasilitas yang tidak memadai. Selain jauh, sarana gedung banyak yang rusak. Padahal, bayar biayanya sama,” katanya.
Iskan mengusulkan agar ke depan nomenklaturnya ada yang diubah. Di Indonesia, mesti ada kementerian haji yang lepas dari Kementerian Agama. Menurut Iskan, di negara lain ada kementerian haji. Inilah yang membuat daya tawarnya kuat. (*)