Lembaga Kejaksaan merasa dianaktirikan dalam penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi. Selain masih menganut rezim perizinan dalam menangani tindak pidana korupsi, Kejaksaan juga minim anggaran bila dibandingkan dengan Komisi Pembernatasan Korupsi (KPK).
Demikian dikemukakan Ketua Umum Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) Noor Rochmad saat menyampaikan pandangannya pada rapat dengar pendapat di Pansus Hak Angket KPK DPR RI, Senin, 4 September 2017) “Kinerja penanganan korupsi oleh kejaksaan mengalami penganaktirian dibanding teman-teman yang ada di KPK. Dalam penanganan korupsi, jaksa ini dibatasi dengan rezim perizinan. Ini yang nyata dilihat oleh kita semua,” ujarnya.
Rezim perizinan yang dimaksud adalah Kejaksaan harus selalu meminta izin ke Bank Indonesia (BI) bila ingin memblokir rekening tersangka. Sebaliknya, KPK malah bisa langsung mendatangi bank asal rekening tersangka yang sedang disidik, tanpa perlu izin BI. KPK betul-betul lepas dari rezim perizinan.
Selain itu, PJI juga melihat anggaran Kejaksaan jauh lebih rendah daripada KPK. Disinilah penganaktirian Kejaksaan semakin jelas. KPK malah mendapat dukungan anggaran yang besar. Di tengah minimnya dukungan anggaran dan rezim hukum, Kejaksaan tetap masih lebih berprestasi daripada KPK. Angka kasus korupsi yang ditanganinya tetap jauh lebih banyak daripada KPK.
“Namun dengan kondisi minim ini, bila dibandingkan dengan KPK, saya melihat kinerja kami masih lebih unggul. Ini mendapat pengakuan dari ICW. Kajaksaan lebih banyak produknya daripada KPK yang dibiayai dengan anggaran besar. Tahun 2016, penyidikan oleh Kejaksaan mencapai 1.600 perkara dan eksekusi 1.056 perkara. Penuntutan mencapai 2.434, penyelamatan keuangan negara tahap penyidikan dan penuntutan Rp331 miliar lebih. Eksekusi uang pengganti mencapai Rp157 miliar lebih,” ungkap Ketua PJI lagi.