Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon memimpin delegasi parlemen Indonesia mengikuti Sidang Umum ke-38 ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) yang diselenggarakan di Manila, Filipina. Sidang akan dibuka hari ini, Sabtu, 16 September 2017, dan dihadiri Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
Selain Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu, anggota delegasi Indonesia lainnya adalah Hj. Nurhayati Ali Assegaf (Partai Demokrat), Juliari P. Batubara (PDIP), S.B. Wiryanti Sukamdani (PDIP), H. Firmandez (Golkar), Andi Achmad Dara (Golkar), Sartono Hutomo (Partai Demokrat), Lucky Hakim (PAN), Abdul Kadir Karding (PKB), Mahfudz Abdurrahman (PKS), dan Achmad Farial (PPP).
Meski Sidang Umum baru akan dibuka besok, namun Jumat, 15 September 2017, delegasi parlemen Indonesia berhasil membuat hangat pertemuan Komite Eksekutif AIPA yang bertugas menyusun seluruh agenda persidangan. Pasalnya, delegasi Indonesia gigih mempertahankan agar parlemen negara-negara ASEAN memberikan sikap yang tegas dan jelas atas tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar.
“Isu mengenai Rohingya ini harus mendapatkan tanggapan dan sikap yang jelas dari delegasi parlemen negara-negara ASEAN. Sebab, isu tersebut sudah menjadi isu dunia. Parlemen Kanada sudah bicara, parlemen negara-negara Eropa sudah bicara, termasuk Presiden Duterte juga sudah bicara. Jika negara-negara ASEAN tidak bisa memberikan sikap yang jelas dan tegas atas isu yang ada di depan pelupuk mata ini, apa gunanya ASEAN dan AIPA?! Itu posisi parlemen Indonesia dalam menyikapi kasus tragedi kemanusiaan di Rohingya,” ujar Fadli Zon.
“DPR RI sebenarnya telah menyiapkan satu draf resolusi terkait Rohingya. Namun draf itu telah mendapatkan tanggapan keberatan dari parlemen Myanmar. Mereka ingin agar resolusi itu didrop, tidak dimasukan ke dalam agenda AIPA. Tentu saja hal itu tak bisa diterima delegasi Indonesia,” kata Fadli Zon.
“Kami sebenarnya sangat terbuka kepada Myanmar untuk mengkoreksi dan memperbaiki draf resolusi itu, jika mereka keberatan dengan redaksi awal yang kami bawa. Jika mereka keberatan dengan nada kecaman terhadap aksi kekerasan atas etnis Rohingya, kami telah mengusulkan untuk memperlunak resolusi tersebut menjadi resolusi atas krisis kemanusiaan di Myanmar. Mereka menolak juga. Mereka mengatakan tidak ada krisis kemanusiaan di Myanmar. Malah delegasi parlemen mengatakan bahwa mereka di Rohingya itu teroris. Tentu kami keberatan karena dunia sudah menyaksikan kekerasan terhadap orang-orang biasa dan lemah.”
Forum lobi yang dihadiri Indonesia, Myanmar, Filipina dan Singapura tak menemukan kesimpulan. “Posisi delegasi parlemen kita jelas, resolusi atas Rohingya itu sama sekali bukan untuk mencampuri urusan dalam negeri Myanmar, tapi untuk memberi bukti jika ASEAN dan AIPA benar-benar hadir saat terjadi krisis kemanusiaan di halamannya sendiri. Kita bisa dan biasa menyusun resolusi atas konflik di Palestina, atau kawasan lainnya, misalnya, tapi anehnya kita sulit sekali menyusun resolusi atas konflik yang terjadi di kawasan kita sendiri. Itu yang kami sampaikan kepada delegasi lainnya.”
Fadli Zon menambahkan,, penyelesaiannusiaan di Rakhine tidak mungkin bisa dicapai jika tidak melibatkan pemerintah dan parlemen Myanmar. Itu sebabnya melalui AIPA pihaknya mendorong mereka untuk menyusun resolusi atas isu tersebut. Selain Myanmar, krisis itu tidak mungkin juga diselesaikan jika tidak ada dorongan dari dunia internasional, terutama dari pemerintah dan parlemen negara-negara ASEAN yang sekawasan.
“Meski dalam sidang Komite Eksekutif siang tadi beberapa negara masih menggantung sikapnya, karena beberapa dari mereka berpandangan jika isu itu hanyalah isu terbatas antara delegasi Indonesia dengan delegasi Myanmar, namun karena kegigihan sikap delegasi Indonesia dalam membahas isu Rohingya, akhirnya sejumlah negara menyatakan dukungannya secara terbuka, bahwa negara-negara ASEAN, terutama anggota parlemennya, harus segera bersikap dan terlibat dalam penyelesaian konflik yang terjadi di Myanmar," kata Fadli Zon.
“Kami berharap agar delegasi parlemen Myanmar membuka ruang dialog terhadap negara-negara ASEAN lainnya terkait isu kemanusiaan Rohingya. Isu yang kami tawarkan adalah isu krisis kemanusiaan. ASEAN dan AIPA harus terlibat dalam setiap isu kemanusiaan yang terjadi di kawasannya sendiri. Tak boleh menutup mata," ujarnya
Akhirnya, delegasi indonesia meminta semua 8 draf isu politik ditunda pembahasannya hingga besok, Sabtu sore. Jika isu kemanusiaan di Rohingya tak masuk dalam draft resolusi, delegasi DPR RI akan mempertimbangkan tak melanjutkan ikut pertemuan AIPA ke-38. Parlemen Malaysia sangat mendukung sikap Indonesia. Jika Indonesia walk out, Malaysia akan ikut bersama.(*)