Anggota Komisi IV DPR RI KRT.H. Darori Wonodipuro mengatakan bahwa perubahan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 segera dilakukan pembahasan. Ketentuan yang mengatur tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem di Indonesia ini akan masuk dalam instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis atau prolegnas inisiatif DPR RI tahun 2018.
Dia menilai banyak ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 yang sudah tidak relevan lagi. Oleh karena itu, dalam menyiapkan materi atau draft perubahan itu, Komisi IV melibatkan banyak stakeholder terkait termasuk para pakar, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat yang ahli dalam bidang konservasi.
Darori yang sebelumnya pernah menjabat di Departemen Kehutanan mengatakan bahwa Indonesia patut bersyukur bahwa dari 30 juta lahan konservasi di Indonesia, sebanyak 80 persen diantaranya masih bagus.
Oleh karena itu memahami jika selama ini banyak persoalan konservasi hutan di Indonesia belum diatur dalam undang undang. Bahkan diantara ketentuan undang undang itu perlu diubah ketentuannya. Seperti dalam hal pengaturan konservasi satwa liar yang banyak dilakukan di bukit atau gunung. Padahal, gajah atau ada beberapa satwa lain habitatnya berada di tanah yang datar.
Dia juga menyikapi bagaimana tetap menjaga keberlangsungan satwa yang sudah punah. Bahwa idealnya ada penggabungan penanganan pelestarian secara insitu dan eksitu. Pelestarian secara insitu yakni usaha pelestarian alam dilakukan di dalam habitat aslinya. Misalnya di pinggiran kawasan hutan dibangun lahan konservasi bagi harimau. Harimau yang sudah punah dijaga pelestariannya oleh pemerintah, namun ketika anak harimau lahir, kehidupannya dilepas di hutan. Sehingga terjadi keberlangsungan hidup.
Selain itu, mengenai sanksi hukum. Menurutnya, para perusak ekosistem sebaiknya dihukum minimal 20 dan maksimal hukuman mati. Sebab, satwa di Indonesia semakin banyak yang punah bahkan sudah tidak ada lagi. Kehidupan mereka terganggu. Oleh sebab itu, harus dihukum mati pelaku kejahatan terhadap satwa di alam.
Seiring berjalanannya perubahan UU Nomor 5 Tahun 1990, Darori berharap masyarakat ikut berperan aktif menjaga kelestarian alam Indonesia, tidak hanya terhadap satwa tetapi terhadap seluruh kekayaan Indonesia baik tanaman ataupun di perairan.
“Oleh karena itu, perlu dilakukan penegasan dalam ketentuan perundang-undangan. Dan banyak yang perlu dilakukan. Undang undang ini sudah cukup lama, sudah 28 tahun dan sudah perlu dilakukan perubahan,” kata Darori.
Sebelumnya Kelompok Kerja (Pokja) Kebijakan Konservasi berharap pembahasan perubahan Undang Undang Nomor Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem segera dilakukan. Sebab, kejahatan konservasi yang terjadi di tingkat tapak sudah tidak dapat diakomodir UU Nomor 5 Tahun 1990.
Dikatakan Direktur Eksekutif ICEL (The Indonesian Center for Environmental Law) Henri Subagiyo usulan perubahan RUU ini sudah digaungkan lebih dari satu dekade yang lalu. Bahkan sudah masuk dalam prioritas DPR RI (prolegnas). Namun saat ini status pembahasannya belum dijadwalkan DPR. Dari Pokja Kebijakan Konservasi ada lima poin yang penting untuk kelestarian dan keberlanjutan manfaat keanekaragaman hayati yang krusial untuk diakomodir dalam perubahan UU Nomor 5 Tahun 1990 yakni akses dan pembagian keuntungan dari pemanfaatan sumber daya genetic dan pengetahuan tradisional. Lalu, mengenai perizinan, pengawasan dan sanksi administrasi. Ketiga mengenai kelembagaan penyelenggaraan konservasi keanekaragaman hayati, keempat perlindungan hak dan akses masyarakat adat serta local dan lima tentang aspek penegakan hukum terhadap kejahatan konservasi keanekaragaman hayati. (*)