Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang membentuk Panitia Kerja (Panja) Evaluasi Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen). Sebab, menurut Wakil Ketua Komisi X DPR Sutan Adil Hendra dan anggota Komisi X DPR, Nuroji, dari delapan indikator standar pendidikan, masih ada indikator yang belum terpenuhi serta selalu menjadi masalah krusial. Sutan mengatakan ada empat masalah dari indikator pendidikan, yakni kesiapan tenaga pendidik, kesiapan standar pendidik, kesiapan anggaran, juga kelembagaan.
Dalam hal kesiapan standar tenaga pendidikan, pada Selasa, 19 September 2017, Komisi X menghadirkan perguruan tinggi selaku lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Ada delapan perguruan tinggi yang diundang. Namun yang hadir hanya empat, yakni Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Negeri Jambi, juga Universitas Negeri Medan.
Panja Evaluasi Dikdasmen akan mendorong pemerintah untuk mengalokasikan dana lebih besar bagi LPTK. Sebab, permasalahan guru saat ini sangat krusial, di antaranya seleksi guru, sebaran guru, pembinaan karier guru, guru yang akan pensiun pada 2018-2019, serta guru honorer dan guru kontrak yang membutuhkan penyelesaian secara cepat juga tepat.
“Kami akan segera menyelesaikan Panja Evaluasi Dikdasmen agar dilakukan peningkatan anggaran LPTK dan bagaimana meningkatkan kompetensi guru yang tidak hanya kualitas mengajar, tapi juga mendidik,” ujar Sutan.
Hasil Panja ini akan disampaikan kepada pemerintah. Dia juga minta pemerintah memperhatikan sarana dan prasarana pendidikan agar mutu pendidikan di Indonesia semakin baik.
Sedangkan, menurut Nuroji, dari delapan standar pendidikan, ada tiga hal masalah yang tidak kunjung selesai, yaitu guru, sarana dan prasarana, serta biaya. Namun, kata Nuroji, sumber tiga masalah indikator pendidikan Indonesia adalah dana. Alokasi 20 persen dana anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk pendidikan tidak semuanya digunakan untuk meningkatkan mutu pendidikan di tingkat dasar dan menengah. Tapi juga untuk membayar tenaga guru, pendidikan keahlian atau profesi seperti koperasi.
“Jadi, kalau dihitung, dari dana 20 persen itu, yang benar-benar digunakan untuk meningkatkan mutu pendidikan hanya 2 persen saja,” kata Nuroji.
Selain itu, pemerintah daerah tidak menganggarkan dana APBD untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerahnya. Melainkan dana 20 persen dari APBN dihitung ulang di daerah menjadi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang kemudian digunakan untuk pendidikan di daerah.
Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Sutrisna Wibawa mengatakan perhatian LPTK kepada tenaga pendidik dasar dan menengah disebabkan masih buruknya mutu serta kualitas pendidikan di tingkat dasar dan menengah. Dengan meningkatkan mutu pendidikan di tingkat dasar dan menengah, dipastikan kualitas lulusan yang akan masuk perguruan tinggi akan semakin baik.
“Lewat Panja Evaluasi Dikdasmen, Komisi X DPR bisa menyampaikan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memperbaiki pendidikan dasar serta menengah,” ujarnya.
Minimnya sarana dan pendidikan hingga tenaga guru paling banyak terjadi di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal atau disebut 3T. Kondisi ini sulit berubah jika dana dari APBN yang diterima daerah dihitung kembali. (*)