Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memasukkan Rancangan Undang-undang (RUU) Perkelapasawitan di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018. Pembahasan terakhir RUU ini di Baleg sudah dalam tahap harmonisasi.
Anggota Baleg DPR, Hamdhani, dari Partai Nasdem daerah pemilihan (dapil) Kalimantan Tengah mengatakan ada beberapa alasan utama pentingnya RUU Perkelapasawitan. Di antaranya adalah dalam bidang sosial ekonomi, yaitu untuk memastikan kesejahteraan petani. “Karena dalam RUU ini memprioritaskan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri). Sehingga ada serangkaian insentif agar kelapa sawit menjadi maju. Selain itu, untuk meningkatkan profesionalitas semua sektor di kelapa sawit dari hulu sampai hilir. Sedang di bidang hukum, RUU Perkelapasawitan ini penting untuk jadi jalan keluar terhadap carut-marutnya perizinan,” ujarnya.
Di satu sisi, perkebunan kelapa sawit memiliki manfaat secara nasional. Misalnya sebagai komoditas paling produktif di antara komoditas lain, menyerap banyak tenaga kerja, serta menjadi komoditas andalan nasional. “Namun di lain hal, perkebunan kelapa sawit kerap memberikan dampak buruk secara sosial atau lingkungan,” ucapnya di Palangkaraya, Rabu, 20 September 2017.
Hamdhani juga tidak setuju jika RUU ini dinilai overlaping dengan Undang-undang (UU) Perkebunan. Karena, menurutnya, UU Perkebunan itu mengatur 127 komoditi, sementara UU Perkelapasawitan mengatur khusus tentang kelapa sawit. “Untuk menyelesaikan perkelapasawitan perlu sebuah undang-undang yang sifatnya lex specialis. Karena sawit itu sudah memberikan kontribusi terhadap negara, berupa devisa yang jumlahnya Rp 300 triliun per tahun atau sudah di atas penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi,” tuturnya.
Selain itu, sawit terbukti bisa mengatasi kesenjangan ekonomi masyarakat di Pulau Jawa dan luar Jawa. Di sisi lain, ada juga persoalan petani dan masyarakat adat yang perlu ditata ulang dan diatur, karena banyaknya lahan milik masyarakat yang dihutankan kembali oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Provinsi Kalimantan Tengah ini.
“Banyak permasalahan lahan milik petani di Kalimantan Tengah yang statusnya belum jelas. Di sisi lain yang namanya sawit ini dihadapkan pada kompetitor Malaysia, yang sudah punya undang-undang yang lebih rigid. Sementara pasar CPO (Crude Palm Oil) dunia itu yang menguasai Indonesia. Kalau kita tidak segera bikin regulasi, maka tak menutup kemungkinan kita akan digeser Malaysia, sehingga potensi penerimaan negara akan mengalami penurunan,” ujarnya yang juga Anggota Komisi IV DPR ini.
Selain itu, UU Perkelapasawitan akan mengatur hulu-hilir perkelapasawitan nasional. “Termasuk pemerintah, itu harus punya grand strategy atau roadmap sawit nasional,” tuturnya. (*)