Tempo.Co

Pembahasan RUU Penyiaran Masih Berlanjut
Senin, 25 September 2017
Badan Legislatif telah mendengarkan para pemangku kepentingan.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Firman Soebagyo mengatakan ada sejumlah perbedaan pandangan antara Baleg dan Komisi I DPR dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Ia menekankan setidaknya ada lima pembahasan lagi yang harus dikomunikasikan antara Baleg dan Komisi I DPR.

“Komisi I sebagai pengusul dan Baleg sebagai lembaga atau alat kelengkapan dewan yang memang punya otoritas melakukan harmonisasi RUU Penyiaran. Mudah-mudahan nanti masih ada titik temu. Kalau tidak ada titik temu, nantinya akan deadlock serta mungkin penundaan kembali,” kata Firman di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu, 20 September 2017.

Firman menjelaskan, perbedaan pendapat itu pertama adalah mengenai badan migrasi digital dari analog ke digital. Baleg telah mengharmonisasi sesuai usulan Komisi I, tapi Komisi I kembali mempersoalkan. Permasalahan selanjutnya, kata Firman, terkait dengan batas akhir migrasi dari analog ke digital yang dituangkan dalam draf RUU Penyiaran, yang jangka waktunya tiga tahun.

“Tapi karena kemarin kita juga dengarkan dari para pelaku usaha, termasuk asosiasi, tiga tahun terlalu pendek. Karena persiapan migrasi juga persiapan yang memakan waktu sehingga rasionalnya itu lima tahunberdasarkan usulan teman-teman pelaku usaha,” ucapnya.

Terkait dengan hal itu, Firman mengaku pihaknya akan mencari titik tengah jangka waktu migrasi dari analog ke digital itu. “Ini nanti dicari titik tengahnya. Titik tengahnya mungkin bisa itu menjadi empat tahun kira-kira seperti itu,” ujarnya.

Perbedaan lain, politikus Partai Gerindra menuturkan soal digital dividen. Menurut Firman, ada keinginan pemerintah bahwa digital dividen ini juga akan dilakukan pemanfaatan frekuensi telekomunikasi. Namun hal ini akan bertentangan dengan Undang-Undang Telekomunikasi. Baleg dan Komisi I pun tidak setuju dengan digital dividen yang akan dilakukan pemanfaatan frekuensi untuk telekomunikasi.

“Karena itu, penyiaran ya penyiaran, jangan masuk ke telekomunikasi. Namun kami setuju di dalam pembagian frekuensi itu, nanti ada ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pemanfaatan bencana alam, kemudian pendidikan. Itu memang mutlak kita sepakat,” tuturnya.

Permasalahan berikutnya, adanya perbedaan  terkait dengan investasi asing. Komisi I DPR menghendaki nol persen, tapi Baleg menemukan ternyata ada peraturan presiden sebagai peraturan turunan Undang-Undang Investasi. Investasi di pertelevisian swasta atau penyiaran diperbolehkan maksimal 20 persen sehingga Baleg mengharapkan investasi maksimal 20 persen sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016. Kemudian, soal single mux serta multipleksing. Isu itu sudah dibahas dengan pemerintah dan pemerintah menghendaki tidak single mux, tapi multipleksing.

“Tinggal itu saja yang deadlock, masih tarik-menarik, pengusul maunya sahkan dari inisiatif komisi, dan dari Baleg menjadi masukan. Tapi, kalau dilakukan, kita langgar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Karena, dalam harmonisasi, ada perubahan-perubahan yang dilakukan Baleg. Karena itu, ada terjadi tarik-menarik antara Baleg dan Komisi karena perbedaan pendapat,” ujarnya.

Politikus asal daerah pemilihan Jawa Tengah itu memastikan dalam penyusunan sebuah RUU, semua pihak harus menaati aturan yang ada. Terutama Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyusunan RUU.

“Sekarang Baleg sudah melakukan tahapan-tahapan, baik yang terkait dengan aspek filosofis, yuridis, maupun teknis. Setelah kami melakukan harmonisasi, tentunya ada perubahan-perubahan. Perubahan ini penyempurnaan-penyempurnaan sebagaimana yang diatur UU (undang-undang) tadi,” katanya.

Baleg pun telah mendengarkan para pemangku kepentingan atau stakeholder, misalnya TV swasta, asosiasi TV kabel, Komisi Penyiaran Indonesia, juga pemerintah. Semua berharap undang-undang ini menjadi aturan yang berkeadilan.

“Pada dasarnya, kami menyusun sebuah UU itu jangan sampai ada implikasi menjadi salah satu regulasi aturan yang menimbulkan sebuah bentuk monopoli baru. Apakah itu monopoli yang dilakukan lembaga negara, lembaga pemerintah, dan pelaku sektor atau swasta,” ucapnya.